Rabu, 08 September 2010

judul aneh lagu keroncong

JUDUL ANEH LAGU LAGU KERONCONG.
Seorang teman bertanya kepada saya: “CIGANI dan MINUETA itu artinya apa sih?”.Saya balik bertanya :” Ditemukan dimana kata itu ?”. Lantas dia menyanyi sebaris lagu Keroncong : “Bagai musik CIGANI mengiringi bidadari bersenandung”. Saya baru mengerti CIGANI yang dimaksud, dan saya jelaskan kepada teman tadi, apa arti CIGANI itu.
Ada beberapa judul lagu keroncong yang memang asing ditelinga kita begitu juga maknanya, misalnya: Kr Fantasy, lalu Kr Pastorale, Kr Rhapsody, Kr Romanza ada juga Kr Moresco, termasuk kata CIGANI dan MINUETA tadi.Ternyata nama nama asing itu adalah istilah didunia musik, ada bentuk komposisi (Fantasy,Pastorale, Rhapsody, Romanza) ada juga nama sejenis alat musik (Moresco).
Sekarang mari kita mulai dari kata Cigani atau istilah aslinya Cigana. Ejaannya bermacam macam ada yang menyebutkan dengan Zygana ada ada yang menulis Tsigana, bahasa Jerman Zigeuner. Tsigana adalah sistem tangganada milik suku bangsa Gibsy. Gibsy adalah Suku bangsa pengembara, yang menjelajah hampir diseluruh daratan Eropa. Mereka mempunyai satu sistem Tangganada minor yang berbeda dengan sistem Tangganada minor yang lain yang kita kenal. Susunan nada nadanya adalah sebagai berikut : a - b - c - dis - e - f - gis – a (tingkat ke empat dan ketujuh dinaikkan setengah laras). Bandingkan dengan tangganada minor Harmonis : a - b - c - d -e - f - gis – a (hanya tingkat ketujuh saja yang dinaikkan setengah laras). Sistem Tangganada minor Harmonis banyak dipakai di lagu lagu ciptaan komposer Indonesia. Contoh : Kr Bhaktimu Kartini, Melati diTapal Batas, Gugur Bunga dll. Lagu bersistem tangganada Tsigana ada yang pernah terkenal di Indonesia yaitu Octi Chornia (artinya Mata Hitam), yang diterjemahkan kedalam bahasa Sunda Panon Hideung, lagu Panon Hideung terkenal ditahun 1960an. Lalu Minueta (kata ini terdapat di lagu Keroncong berjudul Senandung Bidari) adalah iringan musik tarian Perancis berirama ¾ , musik yang lincah sebagai tari pergaulan para bangsawan Perancis sejak abad ke 18.
Sekarang tentang Kr Fantasy. Istilah Fantasy sendiri ada didalam kamus musik Barat yang artinya satu komposisi yang tidak punya bentuk komposisi yang pasti , jadi mempunyai gaya yang bebas/improvisasi. Perhatikan sepotong syair Kr Fantasy : “Lala lali keroncong Fantasi, dengan tiada bentuknya yang tertentu. . . . “ Kalau mengacu pada syair lagu ciptaan Piet Munandar tersebut, tampak jelas bahwa pengarang lagu tersebut sadar betul akan makna Fantasy. Cuma, bentuk komposisi keroncong bukan bentuk yng tidak pasti, keroncong punya bentuk yang pasti dan pakem (seperti dalam musik Barat ada bentuk bentuk komposisi yang pakem misalnya : Sonata, Opera dan yang lain). Jadi hanya di syair saja ditulis : “Kr fantasi dengan tiada bentuknya yang tertentu”, tetapi bentuk komposisinya tetap dan tertentu yaitu komposisi Keroncong dengan 28 birama dan progresive accord yang selalu sama. Gaya musik Fantasy sudah dikenal sejak abad 17 dan berkembang dengan pesat diabad 18 dan 19. Pemusik kelas dunia banyak membuat komposisi komposisi Fantasy. Antara lain “Fantasy Polonaise” ciptaan Chopin, lalu Franz Schubert judulnya “Fantasia in C” ada juga ”Fantastic Symphony” karya komponis Hector Berlioz.
Judul keroncong berikutnya adalah Pastorale ciptaan si “Buaya Keroncong” Koesbini. Dalam Kamus Musik yang disusun oleh Pono Banoe, Pastorale artinya musik pedesaan, Karya musik yang menggambarkan keindahan alam desa (Pono Banoe Kamus Musik hal 326, penerbitKanisius 2003). Mari coba kita amati sebagaian syair lagu tersebut : “Kalau kita lintasi, jalan yang lengang . . . .” sebaris kalimat tadi sudah mampu memberi kesan alam desa yang masih asli dengan percik air yang jernih, gunung yang menyimpan misteri dan tak tersentuh oleh hiruk pikuk kota yang penuh dengan demo bayaran sampai polusi,.. . . . begitu indah ...... .indah sekali . . . .
Sekarang Rhapsody, apa pula itu ?. Kalau dikalbu seorang seniman timbul gejolak (patah hati, jatuh hati, sedih dll) dan kemudian dia menulis lagu berdasar inspirasi romantik dalam kalbunya tanpa meghiraukan bentuk dan peraturan tertentu, maka siseniman tadi sedang mengarang komposisi Rhapsody. Komposisi Rhapsody adalah sebuah komposisi yang terdiri dari satu bagian saja. Tentu saja, karena bernama keroncong, maka Kr Rhapsody ciptaan Sapari ini, bentuk komposisi tetap Keroncong.
Berikutnya Kr Romanza. Umumnya bentuk komposisi Romanza adalah memberi kesan Sendu, syahdu dan semacamnya, komposisi komposisi Romanza adalah komposisi musik vokal walau ada juga yang instrumental.
Yang terakhir Kr Moresco, mari kita perharikan secara lengkap isi syairnya: Jikalau tuan, mendengarkan ini, haraplah supaya gembira dihati. Oh, ... hai ...memetik gitar sambil menyanyi, membikin pendengar gembira dihati. Oh . . . hai . . keroncong Moresco aku dendangkan, aduh sayang. Agar hati rindu menjadilah senang. Moresco sendiri diperkirakan berasal dari kata Moresca yang mempunyai dua arti yaitu : 1) jenis gitar kuno pengembangan dari gitar Arab Persia. 2) jenis lagu iringan tari di Portugis dan Spanyol. Kalau melihat ada bagian syair yang berbunyi : “memetik gitar sambil menyanyi” Barangkali ilhamnya dari arti Moresca yang pertama : Gitar kuno. Dalam acara Bintang Radio Televisi tingkat Nasional tahun 1997, pembawa acara menyebutkan bahwa kr Moresco ciptaan A.W. Krammer. Sayangnya sang pembawa acara tidak menyebutkan siapa, orang mana AW. Krammer itu?, dan dari mana sumber tersebut didapat.
Terakhir, saya berpendapat bahwa para pencipta lagu berjudul aneh tersebut tidak asal memberi judul, tapi sadar betul ketika memilih judul judul tersebut. Ada kesinambungan yang jelas antara judul dengan isi syair. Ini menunjukkan pencipta pencipta lagu keroncong adalah orang yang berwawasan dan berpengetahun luas.
Masih ada satu lagi, pada Keroncong Senandung Bidari terdapat kata “Minuetta”
Saya masih berharap kepada generasi muda penerus keroncong untuk menciptakan judul judul aneh yang baru, misalnya : Kr Berceuse (Lagu lagu untuk menidurkan anak, semacam lagu nina bobo), Kr Barcarolle (lagu pengayuh sampan) atau Kr Amoroso (lagu dengan penuh perasaan cinta) atau kr Lamentabile (penuh kesedihan) atau Kr Scherzando (penuh kegembiraan) dan lain lain. SELAMAT MENCIPTA.

lagu anak

LAGU ANAK.

Waktu berlalu, jaman sudah berubah, anak anak sekarang sudah tak tertarik lagi menyanyikan lagu “Balonku ada lima” atau “Naik naik kepuncak gunung”. Mereka lebih fasih menyanyikan lagunya NIDJI, ST 12, GEISHA atau KERIS PATIH, atau penyanyi solo Afgan,Vidi Aldiano, AgnesMonica dll. Secara teknis lagu lagu Pop tersebut lebih sulit dinyanyikan karena lompatan nadanya (intervalnya) yang rumit, begitu juga pola ritme yang variatif. Tapi tokh, anak anak masa sekarang mampu menyanyikan dengan pitch controle yang tepat, begitu pula pembawaannya rata rata juga bagus. Tengok saja dilomba lomba nyanyi anak di Televisi, mulai tekhnik vocalnya, pembawaannya sampai performancenya rata rata bagus bahkan mendekati sempurna.
Persoalannya sekarang adalah, apa cocok lagu orang dewasa untuk anak-anak?. Saya secara pribadi tak terlalu risau dengan fenomena ini, mengapa ? Karena, Musik itu sesungguhnya adalah bahasa bunyi. Jadi ketika seseorang menyanyi yang dirasakan dan dinikmati adalah keindahan bunyi itu. Contoh kasus : beberapa tahun yang lalu ada lagu berjudul ASEREJE (baca ASEREHE, sepertinya bahasa Spanyol), lagu tersebut enak didengar karena rancak, lincah , gembira dan mudah dicerna. Dari anak TK sampai orang dewasa menikmati lagu tersebut. Padahal tak sesorangpun tahu apa makna syair lagu tersebut,karena lagu tersebut tidak ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa yang umum dipahami oleh orang Indonesia. Dengan kata lain mereka tak hirau apa makna syairnya, tentang cinta kah?, tentang patah hati kah? atau tentang sihirkah? Atau yang lain, yang penting enak dan nikmat. Contoh kasus yang lain : Lagu BENGAWAN SOLO konon sangat disukai oleh masyarakat Jepang. Saya yakin mereka (orang Jepang) tidak paham makna syair lagu tersebut. Jadi apa yang mereka nikmati?. Pasti mereka menikmati keindahan bunyinya, keindahan pola melodinya, atau bahkan keindahan aransemennya. Jadi mereka juga tak hirau lagi arti syairnya. Masih ada satu contoh lagi, seorang anak masih TK dengan dengan relax menyanyikan lagunya UNGU yang berjudul HAMPA HATIKU. Bunyi syairnya begini : Tidakkah kau merasa, hatimu hampa, tidakkah kau merasa, hatimu kosong. Ketika mengucapkan kata KOSONG sianak mengucapkan GOSONG, bukan karena sengaja diplesetkan tapi memang itulah yang didengar. Apa artinya ?. Yang pertama, kalau kata KOSONG diganti GOSONG pasti tidak “nyambung” dengan konteks kalimatnya. Yang kedua, artinya sianak tidak mengerti sekaligus tak memasalahkan apa makna syairnya? “nyambung atau tak nyambung”tidak menjadi soal lagi, yang dia nikmati ya keindahan bunyinya.
Tentu saja pendapat saya yang tak memasalahkan isi syair bisa jadi kontoversial. Pasti banyak yang tidak setuju dan tak sepaham. Sayapun bisa mengerti, tapi kalau kita bicara musik/lagu obyeknya tentu bunyi, jadi dari sana kita mengamati dan menganalisanya. Disisi lain saya juga bisa mengerti bahwa lagu yang bersyair tak sesuai dengan jiwa dan alam pikiran anak, bisa berpotensi tidak baik terhadap anak.
Musik memang bisa dilihat dari dua sisi.Sisi pertama adalah adalah sisi musik (bentuk komposisinya, arransemennya). Sedang sisi yang lain adalah isi syairnya (pesannya seperti apa). Bagi pemusik, keindahan bunyi adalah yang utama. Ludwig von Beethoven (1770 – 1827) komponis kelas dunia ini mencipta ratusan lagu hampir tidak ada yang bersyair.Ketika dia kagum, marah, jatuh cinta, sedih semuanya diekspresikan lewat bunyi, dia pilih tone colour dari instrumen yang bisa mengekspresikan kekagumannya,dia pilih pola melodi yang bisa mengekpresikan kesedihannya, dia pilih accord accord yang bisa mengesankan kemarahannya dll. Pendengar sepenuhnya menikmati keindahan bunyi yang dihadirkan, tanpa memerlukan lagi pesan lewat syair.
Sesungguhnya menikmati lagu tanpa syair jauh lebih asyik ketimbang lagu yang bersyair. Sebagai contoh : Lagu Tanah Airku (lebih terkenal dengan judul Nyiur Hijau) , walau lagu tersebut disajikan dalam bentuk instrumentalia, tapi kalau orang Indonesia mendengarnya, tetap saja mengatakan lagu itu bercerita tentang keindahan alam, tentang burung burung, padi yang menguning, nyiur yang hijau, pokoknya tentang keindahan alam. Kenapa begitu? , karena sejak di Taman Kanak kanak sampai tua kita sudah dibingkai dengan pesan syair tentang keindahan alam.Berbeda dengan orang yang tidak paham bahasa Indonesia, mereka tidak terikat dengan syair karena tidak mengerti, sehingga lebih bebas berimaginasi/ berkhayal tentang apa saja ketika mendengar pola melodi yang lembut dan melodius dari lagu tersebut.
Bagi para pendidik tentu berbeda, pesan syairnya harus sesuai dengan jiwa dan alam pikiran anak,. Kalaupun dibagian musiknya harus diperhatikan maka ambitus (wilayah suara) harus sesuai dengan jangkauan suara anak. Lompatan nada (interval) harus sesuai dengan kemampuan anak. Jadi ? . . . saya mengusulkan dua model ciptaan lagu untuk anak. Yang pertama silahkan pencipta lagu anak ( AT Mahmud, Indra Budi, Djoko Sutrisno) untuk tetap mencipta lagu anak sesungguhnya. Yang kedua para musisi Pop Indonesia, cobalah menggarap lagu lagu anak tersebut dengan sentuhan pop. Sebetulnya sudah ada lagu anak dengan sentuhan pop. Perhatikan lagu pop anak garapan Elfas Secoria semisal Andai Aku Telah Dewasa,Peri Kecilku, Lihatlah Lebih Dekat, lalu Lagu Untuk Mama, atau yang sedang top Kepompong Lagu lagu tersebut pesan syairnya pas untuk anak juga sudah memenuhi syarat sebagai lagu pop. Selain itu, coba perhatikan lagu GARUDA DIDADAKU garapan Netral band. Bukankah lagu itu adalah APUSE (lagu daerah Papua). Dengan sentuhan pop ternyata lagu tersebut bisa menjadi Hit. Atau lagu BENDERA dari Coklat band. Pesannya mampu menbakar semangat bangsa tapi tetap terasa ngepop. Model semacam itulah barangkali yang bisa menjawab kebutuhan musik anak Indonesia.

Musik Campursari

MUSIK CAMPURSARI
Musik Hybrid Yang Sedang Ngetren.


SEKILAS INFO :
Istilah Campursari mulai dikenal diawal tahun 1970an, ketika RRI stasiun Surabaya memperkenalkan satu acara baru, yaitu lagu lagu yang diiringi musik paduan antara alat musik berskala nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan alat musik berskala nada diatonis (Barat).
Tapi sesungguhnya paduan antara musik tradisional Indonesia dengan musik Barat bukan sesuatu yang baru, jauh sebelum Campursari ada, banyak musisi kelas dunia yang sudah melakukannya, antara lain Claude Achille Debussy komposer Perancis 1862 – 1918, Bella Bartok Komponis Hunggaria 1881 – 1945. Lalu Colin Mc Phee komponis Amerika ditahun 1930an membuat komposisi diberi judul “Tabuh tabuhan” , kemudian Wheeler Backet ditahun 1960an membuat satu komposisi paduan antara musik Indonesia dan Barat yang dipentaskan di Amerika Serikat. Wheeler Backet menampilkan seperangkat gamelan diiringi orkestra, judul komposisinya adalah “The Dedication to Indonesia”. Dari Indonesia ada F.A. Warsono (1960an). Ditahun 1975 Guruh Soekarno Putra bersama grup Guruh Gipsy memperkenalkan paduan musik Bali dan musik Barat, lagu-lagunya antara lain Indonesia Mahardika, Barong Gundah dan lain lain.
Tentu saja Campursari yang kita dengar sekarang berbeda dengan Campursari 1970an, apalagi dengan Campursarinya Debussy, Bartok, atau Mc Phee. Campursari memang sedang mencari bentuknya yang baku. Sejatinya Campursari adalah musik Hybrida musik dari hasil perkawinan silang antara musik Barat dan musik tradisional Indonesia.
Ada baiknya kita memperhatikan Rumusan Ki Hajar Dewantara tentang Kebudayaan

1. Kebudayaan itu :Lahir, tumbuh, berkembang, berbuah, sakit, tua, mundur dan akhirnya mati.
2. Kebudayaan itu :Kawin dan berketurunan, kumpul tak bersatu, berassimilasi, Manunggal melahirkan bentuk baru.
3. Kebudayaan itu : Mengalami seleksi, yang kuat akan hidup, yang lemah akan mati.
4. Kebudayaan itu : Menyesuaikan dengan alam (kodrat), dan zaman (masyarakat).

Mengacu hal tersebut maka Campursari masuk kekategori nomor 2 (dua) Kawin dan berketurunan, manunggal melahirkan bentuk baru.

Sekarang, kita amati lebih jauh bezzeting (perlengkapan/peralatan) musik Campursari. Peralatan campursari terdiri antara 12 sampai dengan 15 instrumen, terbagi atas 5 sampai 6 instrumen diatonis (Keyboard I dan Keyboard II, bass gitar, cuk/ukulele, cak /banyo dan drum set) sisanya adalah alat musik berskala nada pentonis antara lain gender, kendang set,saron, peking dll. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memadu dua sistem tangganada pentatonis jawa dengan diatonis barat yang berbeda sistem Tangganadanya itu.

TANGGANADA PENTATONIS.
Mari kita urai perbedaan kedua sistem tangganada tadi. Dalam musik tradisional Karawitan Jawa (Pentatonis) yang terdiri dua tangganada/laras : Pelog dan Slendro (kira kira sama dengan Mayor dan Minor) satuan jaraknya disebut CENT jarak antara satu nada dengan nada yang lain disebut Sruti (interval). Dalam satu gembyang (sama dengan musik diatonis: satu oktaf) terdapat 1.200 cent , hal ini sama dengan satu oktaf juga berjarak 1.200 cent juga. Perbedaannya terletak pada pembagian sruti antara satu nada dengan nada yang lain. Dalam sistim tangganada Karawitan Jawa baik Pelog maupun Slendro hanya berisi lima nada Yaitu : 1 (ji) – 2 (ro) – 3 (lu) – 5 (mo) – 6 (nem) 1 (ji). perbedaannya terletak pada srutinya. Untuk Slendro mempunyai sruti yang sama besar yaitu masing masing 240 cent, sedang untuk Pelog ada perbedaan jarak : Besar dan kecil.

TANGGANADA DIATONIS.
Sementara itu ditangga nada yang berskala nada diatonis mempunyai 1.200 cent juga, namun terdapat 12 nada (papan putih dan hitam) mempunyai interval/sruti yang sama, yaitu masing masing 100 cent. Perbedaan interval/sruti antara dua sistem tangga nada (pentatonis dan diatonis) ini berakibat Ketinggian nada ( pitch) juga berbeda, sehingga ketika dua nada dari dua sistim yang berbeda ini dipadukan/disatukan akan terdengar paduan bunyi yang disonan (paduan bunyi yang memberi kesan tidak tenang dan gelisah). Hal inilah yang banyak dipersoalan dikalangan musisi Campursari.

PERBANDINGAN SKALA NADA DIATONIS DAN PENTATONIS.


1 (ji) 2 (ro) 3 (lu) 5 (mo) 6 (nem)
1 (ji) 2 (ro) 3 (lu) 4 (pat) 5 (mo) 6 (nem) 7 (pi)
Do Re Mi Fa Sol La Si


Dalam diagram diatas tampak jelas perbedaan ketinggian Nada (pitch) antara satu sistem tangganada dengan sistem tangganada yang lain. Inilah, (seperti yang sudah ditulis diatas) menjadi paduan bunyi yang disonan. Walau seorang teman saya pemusik kontemporer mengatakan : “ Dalam musik kontemporer masalah Disonan kan bukan sesuatu hal yang tabu”.
Lalu, bagaimana penyelesaiannya ?? jalan keluar yang banyak dilakukan oleh musisi campursari adalah dengan melaras ulang instrumen karawitan menjadi berskala nada Diatonis. Dengan demikian bunyi instrumen karawitan akan menyatu dengan instrumen Diatonis. Tapi persoalannya tidak berhenti sampai disitu saja, karena hakekat musik sesungguhnya ada pada sistem tangganadanya. Banyak dikalangan musisi tradisi keberatan dengan pelarasan ulang alat musik karawitan yang berskala nada pentatonis menjadi berskala nada diatonis. Karena, ciri dari alat musik karawitan adalah pada sistem tangganadanya. Memang tone colour tetap terasa karawitan tapi sudah tidak punya “jiwa dan rokh” karawitan. Ibarat gadis Eropa diberi pakaian tradisional Jawa, pakai jarit, pakai suweng, berselendang, rambut disanggul, namun ketika berjalan tak tampak “gandes luwes”nya putri Jawa, tak tampak juga (seperti yang ada disyair salah satu lagu langgam jawa : “Mlakune koyo macan luwe”). Ini tentu PR bagi musisi Campursari, bagaimana menyandingkan instrumen musik Barat dengan instrumen musik karawitan dengan tetap “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Masyarakat menunggu kreatifitas musisi Campursari, karena ada kesan yang tidak bisa dihindari : Ada sistem tangga nada yang dikalahkan dan ada sistem tangga nada yang dimenangkan.

Selasa, 07 September 2010

Lagu Indonesia Raya

Indonesia Raya.

Tanggal 28 Oktober 2009 yang baru lalu, genap 81 tahun Indonesia Raya (IR) berkumandang di tanah air kita, semenjak pertama kali diperdengarkan oleh WR Soepratman dalam Konggres Pemuda 28 Oktober 1928. Namun diusia yang cukup tua, kontroversi tentang lagu Kebangsaan kita sepertinya tak pernah berhenti. Terakhir Roy Suryo memperkenalkan kepada masyarakat, bahwa IR itu terdiri atas 3 (tiga) Stanza. Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya dikalangan masyarakat, khususnya guru guru musik disekolah sekolah. Karena sesungguhnya sejak lama masyarakat sudah tahu akan hal itu. Banyak buku buku lagu nasional disekolah memuat lengkap lagu kebangsaan kita terdiri dari tiga stanza. Saya tidak tahu apa maksud Roy Suryo memperkenalkan sesuatu yang sudah terkenal itu, Cuma Roy sendiri yang bisa jawab.
IR juga dituduh sebagai lagu jiplakan (hampir seratus persen) dari sebuah lagu berjudul Pinda Pinda Lekka Lekka dinegeri Belanda dan Boola Boola di Amerika Serikat (Amir Pasaribu : Analisis Musik Indonesia, hal 55 penerbit PT Panca Simpati Jakarta 1986). Bahkan ditahun 1953 persoalan ini dibawa oleh komponis Koesbini kehadapan Presiden Soekarno untuk dimintakan ijin revisi agar tak terlalu sama dengan lagu Belanda dan Amerika tersebut. Ternyata Bung Karno (BK) tak setuju dengan ide tersebut. Bagi BK apa yang sudah diterima secara politis tak perlu lagi disoal secara estetis. BK melihat dari sisi Politis sementara Koesbini dari sisi estetis. Kedua tokoh tersebut sama benarnya, sisi pandang saja yang berbeda. Dieter Mack (komponis kontemporer dan pengajar musik asal Jerman) bilang: ” Musik diantara seni dan Politik adalah sebuah dilema yang abadi” ( Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air dan Cinta. Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, 2005). tak akan pernah selesai dipersoalkan, dan tak akan pernah ketemu jalan keluarnya. . . . Apa boleh buat.
Masih banyak pendapat “miring” tentang IR, antara lain ambitus (wilayah suara) yang telalu luas sehingga sulit dinyanyikan. Karena ambitus yang luas maka pilihan nada dasar juga terbatas diantara F dan G diluar nada tersebut sulit menyanyikannya, padahal duaratus juta rakyat Indonesia belum tentu bisa nyanyi. Atau ada juga yang menyoal lagunya terlalu panjang sampai tiga bagian, sehingga terlalu lama menit yang diperlukan untuk menyanyikannya.
Sesungguhnya, bagaimana seharusnya IR dinyanyikan? . Kalau dianalisa dari bentuk komposisi musiknya, IR terdiri dari 3 bagian. Bagian I diawali dengan :“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku” . . . dst . . sampai dengan “marilah kita berseru Indonesia bersatu”. Bagian II : hiduplah tanahku hiduplah negriku” . . . dst . . sampai “untuk Indonesia Raya” Bagian III “Indonesia Raya Merdeka Merdeka” . . dst . . dan diakhiri “hiduplah Indonesai Raya” (diulang dua kali). Dalam komposisi tiga bagian seperti IR maka puncaknya harus jatuh dibagian III dan komposisi IR sudah tepat, pola melodi yang terus merambat naik dan memcapai puncaknya dibagian III. Untuk lebih menambah klimaks dibagian III maka bagian II harus dinyanyikan / dimainkan secara lembut (p/piano) . Perhatikan Korp musik pada upacara upacara kenegaraan, dibagian II pilihan instrumennya dipilih alat musik klarinet, flute dan alat alat musik yang intensitasnya terbatas kekuatan volumenya. Baru pada bagian III dimainkan alat tiup logam (brass section) semacam Trompet, trombone, tuba dll, gunanya untuk lebih memberi kesan yang memuncak dan klimaks.
Harus akui komposisi IR memang panjang, sehingga ketika Olympiade di Barcelona/spanyol, bagian II dari IR dihapus sama sekali oleh Korp Musik Spanyol pada saat Susi Susanti dan Allan Budikusuma menerima medali emas. Saya mengirim surat protes ke suara pembaca di surat kabar ( karena IR adalah simbol negara, sama kedudukannya dengan bendera Merah Putih, Garuda Pancasila Presiden dll), Jadi tidak boleh sembarangan memperlakukannya. Tapi sayang protes saya tidak dimuat. Barangkali kita sedang menikmati euforia karena itulah saat pertama kali Bendera Merah Putih berkibar diiringi Indonesia Raya (walau tidak lengkap) diarena Olympiade. IR adalah satu kesatuan komposisi yang utuh jadi tidak bisa dipreteli dengan alasan durasi yang terlalu panjang, atau alasan alasan yang lain.
Sekarang, kalau kita amati dari syairnya (khusus Stanza I ). IR juga dibagi menjadi 3 bagian. Bagian I berisi “Pernyataan Bangsa Indonesia”, coba amati syairnya, yang berisi pernyataan : Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku, disana aku berdiri jadi pandu ibuku . . . dst. Dibagian I ini tersirat pernyataan bangsa Indonesia kepada dunia tentang Indonesia.
Bagian II : adalah “Doa dan Harapan” perhatikan syairnya, berisi doa sekaligus harapan : hiduplah tanahku hiduplah negriku, bangsaku, rakyatku semuanya ,bangunlah jiwanya. . . dst. Bagian III berisi “Sumpah sakti Bangsa Indonesia” simak syairnya : Indonesia Raya, merdeka merdeka, tanahku negriku yang kucinta. . .dst. Syair bagian III itu adalah sumpah kita bangsa Indonesia, untuk mencintai Indonesia. Caranya bisa bermacam macam : Kalau jadi pejabat jangan korupsi, kalau demo jangan anarkhi dan lain lain.
Tidak ada yang sempurna didunia ini. Begitu juga dengan IR. Namun mari kita terima IR apa adanya dengan legowo. Dengan segala lebih kurangnya, IR telah terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia yang heterogen ini. IR juga mampu mengobarkan semangat patriotisme /nasionalisme Indonesia.Selain itu kita perlu menghormati pencipta lagu ini: WR Soepratman yang dengan keterbatasannya (ingat lagu ini diciptakan tahun 1928 , belum ada buku buku musik, belum ada guru musik, belum ada sarana dan peralatan musik yang memadai) namun WR Soepratman mampu mencipta lagu yang banyak mengilhami para pejuang, pemimpin, tokoh tokoh politik Indonesia waktu itu untuk tampil membawa Indonesia Merdeka.

Genjer-Genjer

GENJER GENJER.

Seorang teman menulis didinding facebooknya : sebuah radio swasta didemo sekelompok masyarakat gara gara memutar lagu Genjer Genjer ( GG ). Bagi generasi muda yang lahir sesudah tahun 1965 tentu tidak paham sedikitpun lagu GG. Akhir tahun 1965 Lagu GG seolah menghilang ditelan bumi,tak seorangpun berani mengucapkan walau hanya judulnya saja, apalagi menyanyikannya. Lho?,memang kenapa?. Sesungguhnya lagu apa sih GG itu ?.
GG adalah lagu daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu tersebut terkenal sekitar tahun 1965, secara nasional GG dipopulerkan oleh penyanyi Bing Slamet dan Lilies Suryani (dua penyanyi top masa itu). Pola melodi lagu tersebut terasa sekali warna daerahnya, begitu juga lompatan lompatan nadanya (intervalnya) sangat tradisional. Banyuwangi memang mempunyai ciri tersendiri pada produk produk seni musik tradisionalnya. Perpaduan yang cantik antara budaya Jawa dengan budaya Bali, sehingga sangat khas dan berbeda dengan pola pola melodi dari daerah lain di Jawa Timur.Tangganadanya memakai tangganada minor yang khas, tidak seperti tangganada minor umumnya yaitu nada sol menjadi sol kres, tetapi dalam lagu Banyuwangi nada sol tetap sol. Dalam teori musik diatonis, tangganada semacam itu dinamai Tangganada Minor Asli (Natural minor). Sekarang mari kita perhatikan isi syairnya : GG nong ledho’an pating keleler/ emake tole teko teko mbubuti genjer/ oleh sa’tenong mungkur sedot sing tolah toleh/ GG esuk esuk didol nong pasar/dijejer jejer diuntingi pada didasar/ema’e jebeng pada tuku gowo welasar/GG saiki wis arep diolah.
Isi lagu tersebut bercerita tentang warga didesa yang mencari tumbuhan Genjer (sejenis sayuran yang tumbuh secara liar dilumpur, dipematang sawah) untuk dijual dipasar. Hanya itu isi syair lagu GG, tidak ada yang istimewa. Jadi kenapa diakhir 1965 lagu itu tiba tiba hilang dari peredaran dan harus didemo ketika ada radio swasta yang mencoba menyiarkannya di tahun 2010 ini?. Sesungguhnya GG adalah lagu “netral”, tak membawa pesan politis apapun. Menjadi “tidak netral” ketika Lekra (lembaga kebudayaan dibawah PKI) mempromosikan besar besaran lagu tersebut disetiap kegiatan partainya. Sehingga pada akhirnya masyarakat luas menganggap lagu itu milik PKI. Sekelompok mahasiswa di Yogyakarta yang bukan Komunis mencoba menetralisir lagu tersebut dengan cara mengemasnya dalam bentuk paduan suara , Lagu itu diarransir dalam bentuk paduan suara oleh bung Kalit (panggilan akrab N. Simanungkalit, arranger paduan suara terkemuka di Indonesia). Sayang usaha kelompok non Komunis untuk menetralisir lagu tersebut tak didukung oleh kelompok non Komunis yang lain. Hal ini membuat fihak PKI semakin bebas leluasa menghak-i dan mengklaim lagu tersebut sebagai miliknya. Sehingga usaha menetralisir tidak maksimal, kalau tidak boleh dikatakan gagal. Sebagai ilustrasi: film Pengkianatan G30S/PKI ilustrasi musiknya banyak memakai tema dari lagu GG.





Sementara itu, masyarakat kita mempunyai kebiasaan membuat simbol simbol pada kelompoknya/golongannya maupun partainya diberbagai macam hal. Sebagai contoh disekitar tahun 1965 setiap organisasi masa ataupun organisasi politik mempunyai istilah khusus untuk hari ulang tahunnya. Kalau memakai istilah “Ultah” (ulang tahun) itu pasti dari partai A, kalau memakai istilah “Harba” (Hari Bangkit) itu pasti dari partai B, begitu juga kalau “Harlah” (hari lahir) itu ormas C, kalau H.U.T. (Hari Ulang Tahun) pasti dari golongan yang lain lagi. Sehingga akhirnya tercitra, kalau ada baliho tertulis “Ultah” pasti dari partai A, begitu juga kalau tertulis “Harba” masyarakat umum segera tahu baliho itu pasti dari partai B. Begitu juga untuk istilah istilah yang lain.
Sesungguhnya tidak salah atau sah sah saja sebuah organisasi mencoba memberi ciri pada organisasinya, misalnya warna seragam bajunya, yel yelnya lagu Mars dan Hymnenya. Namun ketika sebuah lagu yang ditulis oleh penciptanya tidak dimaksudkan untuk keperluan politik, tapi kemudian masyarakat menjadi takut menyanyikan, hal ini tentu akan mensengsarakan komposernya. Sang komponis yang ingin memotret kehidupan rakyat kecil dengan jujur kemudian diekspresikan lewat lagu tanpa pretensi lain tapi kemudian tak mungkin dinyanyikan, bisa bisa mematikan kreatifitas komponis itu sendiri. Tapi Okaylah, peristiwa “takut menyanyi” itu terjadi ditahun 1965, ketika emosi masih diubun ubun dan politik masih manjadi panglima (ingat grup band Koes Bersaudara sekarang Koes Plus pernah dikirim ke penjara hanya karena menyanyi). Kini ditahun 2010, ketika Hukum menjadi panglima, dan kesadaran hukum sudah tinggi, ( sesungguhnya tidak ada aturan hukum yang melarang lagu tersebut), tapi ternyata masih ada demo menentang lagu itu, tentu perlu dicari jawabnya.
Saya merenung mencari jawabnya, akhirnya saya menyimpulkan, begini : Kalau stasiun radio tersebut menyiarkan GG dengan tujuan “menetralkan” lagu itu menjadi apa adanya, tentu ini hal baik dan akan sayang kalau didemo. Tapi bila radio tersebut sengaja menyiarkan dengan maksud menjaga agar lagu itu “tetap tidak netral” sambil bernostalgia “membuka luka lama” tentunya sangat disayangkan. Tapi seperti bunyi peribahasa : “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu” yang bisa menjelaskan adalah penanggung jawab siaran radio tersebut. Sementara difihak pendemo, (barangkali) dari pada susah susah mencari jawabnya “menjaga netralitas atau menjaga supaya tetap tidak netral” enaknya didemo saja. . . . Wah . . . wah . . . wah . . .

Gesang

GESANG.

Sesungguhnya sebutan yang tepat untuk Gesang bukan Maestro Keroncong, tetapi Maestro Langgam Keroncong. Mengapa? Karena ciptaan ciptaan Gesang sebagian besar adalah berbentuk komposisi Langgam bukankomposisi Keroncong. Coba lihat ciptaannya : Saputangan, Bengawan Solo, Dongengan, Jembatan Merah, Sebelum Aku Mati, Caping Gunung, Pamit (dinyanyikan Boery), semuanya bukan komposisi Keroncong. Lalu apa perbedaan antara Keroncong dengan Langgam Keroncong?. Secara fisik Keroncong adalah bentuk komposisi satu bagian dengan jumlah 28 bar (birama) ditengah lagu ada isian musik yang oleh sebagian teman teman Keroncong disebut sebagai “sengga’an”.Keroncong bisa dianalogikan dengan dengan bentuk komposisi Sonata, yaitu 8 birama diawal lagu, semacam exposisi di Sonata. Lalu ada sengga’an selama 2 birama, mungkin sama dengan transisi. Kemudian muncul pola baru sebanyak 10 birama, bisa disamakan dengan development. Dan yang terakhir semacam recapitulasi sepanjang 8 birama. Sedang Langgam Keroncong 32 birama yang terbagi menjadi empat bagian (A A B A). Sama dengan komposisi yang umum dalam lagu lagu barat Edelwise, I’am In the mood for love.
Gesang yang dalam bahasa Jawa artinya HIDUP memang telah “menghidupkan sesuatu yang baru” didunia musik Indonesia waktu itu. Pada masa itu sekitar 1930an musik Indonesia didominasi oleh komposisi komposisi bentuk Keroncong, nah disaat itulah Gesang memperkenalkan bentuk komposisi baru yang bernama Langgam. Walau sesungguhnya didunia musik Internasional Langgam sudah lama ada, tetapi di Indonesia Gesanglah yang mempelopori. Lagu lagu ciptaan Gesang memang sederhana, namun dibalik kesederhanaan itu justru muncul keindahan. Masaki Tani Konsul kebudayaan Jepang di Indonesia, mengatakan di televisi , bahwa lagu Bengawan Solo disukai orang Jepang karena keindahan melodinya sesuai dan cocog dengan rasa estetis orang Jepang. Ini bukan basa basi, ketika kabar meninggalnya Gesang tersebar, Duta Besar Jepang untuk Indonesia datang melayat ke rumah duka di Solo.
Dari pesan syairnya, lagu lagu ciptaan Gesang sangat beragam. Ia bisa berbicara tentang cinta, kesetiaan, patah hati dan lain lain. Dalam mencipta lagu Gesang selalu mensurvey dulu obyek yang akan dibuat lagu. Tentang Jembatan Merah misalnya, waktu itu grup sandiwara yang diikuti Gesang sedang tour ke Surabaya. Oleh pimpinan sandiwara direncanakan sebuah cerita tentang jembatan yang terkenal di Surabaya itu. Kepada Gesang ditugaskan untuk membuat lagu sebagai ilustrasi musik dari cerita tersebut. Menurut pengakuan Gesang ketika ia sampai diJembatan Merah, Gesang tidak menemukan sesuatu yang istimewa dari jembatan itu,jembatannya juga biasa biasa saja. Namun dengan kemampuan seninya yang luar biasa Gesang mampu menemukan kata demi kata yang terangkai menjadi sebuah lagu yang kuat di sisi musik maupun syairnya.




Coba tengok syair awalnya : Jembatan Merah,sungguh gagah, berpagar gedung indah. Suatu kalimat yang cerdas yang mampu melukiskan keadaan Jembatan Merah yang sesungguhnya. Dibagian lain dari lagu itu Gesang juga menyampaikan perasaan hatinya kepada seseorang : Biar Jembatan Merah, andainya patah, akupun bersumpah, akan kunanti dia disini, bertemu lagi. Dilagu yang lain yaitu “Dongengan”, Gesang bercerita tentang rakyat desa yang sederhana, jujur dan setia. Diawal perang kemerdekaan banyak warga kota mengungsi kedesa, warga desa dengan tulus dan ikhlas menerima dan melayani mereka, tanpa mengharap apa apa. Ketika Indonesia sudah merdeka, ketika pengungsi kembali kekota dan sudah menikmati kehidupan metropolitan, Gesang berpesankepada warga kota : rakyat desa jangan dilupakan dan jangan disia siakan.
Gesang juga dikenal sebagai orang yang sederhana, “ayeman ati tur ora ngoyo”. Sikap tenang ditunjukan Gesang ketika diberi tahu bahwa uangnya di Jepang mencapai ratusan juta dari royalti lagu Bengawan Solo yang sangat terkenal di Jepang. Reaksinya tidak berlebihan, tetap tenang tanpa beban. Dilingkungan warga dimana Gesang tinggal, ia memang dikenal orang yang sabar dan rendah hati.
Semangat nasionalisme juga ditunjukan oleh Gesang, coba tengok lagu “Sebelum Aku Mati” lagu itu sangat pendek untuk sebuah lagu, namun mampu mengekspresikan semangat nasionalisme Gesang. Sekali ku hidup sekali kumati, aku dibesarkan dibumi pertiwi. Lambaian tanganmu panggilan abadi. Selama hidupku, sebelum aku mati. Hanya itu syair lengkap lagu tersebut (hanya satu bait). Tampaknya Gesang agak kesulitan menyusun pesan yang lengkap untuk sebuah lagu sependek itu. Namun, sekali lagi dengan kecerdasannya Gesang akhirnya dpt menyelesaikan lagu itu . Mirip dengan lagu Bagimu Negri, hanya satu bait tapi mencakup seluruh semangat dan tekad bangsa Indonesia.
Konon, Gesang pernah patah hati yang sangat. Seluruh suasana hatinya diekpresikan dalam sebuah lagu langgam keroncong berjudul “Saputangan”, mari kita simak pesan syairnya secara lengkap : Saputangan yang harum baunya, menawan hatiku, basah air mataku karena datangnya tangisku. Saputangan yang dulu kutrima, dari kekasihku, pada masa dahulu berdua, pertama bertemu. Penuh dengan rencana dan janji, telah disetujui, meskipun bagaimana terjadi, sehidup semati. Saputangan yang diwaktu sekarang, jadi hiburanku , karena kekasihku sekarang, tinggalkan diriku. Suasana sedih dalam lagu Saputangan ini bukan cuma dibangun oleh syairnya saja tapi juga oleh pola melodi yang pas dan nyambung dengan syairnya. Indah.
Kini Gesang telah meninggalkan kita semua menuju kealam keabadian, banyak yang ditinggalkan dan kitalah pewarisnya. Selamat jalan eyang Gesang, doa kami menyertaimu.

Pergelaran Musik

C O R D O B A.

Cordoba adalah satu wilayah diselatan Spanyol, yang terkenal dengan alamnya yang molek, kecantikan gadis gadisnya yang menawan dan macam ragam tariannya yang khas. Berbagai aspek keindahan yang ada di Cordoba itu menyentuh perasaan Isaac M Francisco Albeniz (1860 – 1909) Komponis terpenting Spanyol. Cordoba sendiri memang sebuah wilayah yang menjadi favourite dan sering dikunjungi oleh Komposer Spanyol terkemuka ini. Keindahannya tersebut dituangkannya dengan pas dalam sebuah komposisi untuk solo piano dengan judul yang sama Cordoba.
Komposisi Cordoba dimulai dengan suasana magis, dengan dentingan piano yang memberi kesan seperti lonceng gereja, tetapi kemudian disection berikutnya sedikit demi sedikit suasana berubah menjadi lebih lincah seperti umumnya tarian rakyat Spanyol yang rancak dan dinamis.
Keindahan komposisi Cordoba, tanggal 21 Agustus yang lalu dapat dinikmati oleh masyarakat pecinta musik Surabaya, dalam satu pergelaran musik yang diberi label ‘’My 1st Recital’’ di gedung Salle France CCCL. Menampilkan pianis muda Surabaya Anita Tansajaya. Selain komposisi Cordoba, Anita juga menampilkan komposisi Albeniz yang lain. Asturias. Asturias adalah sebuah komposisi yang ditulis oleh Albeniz ketika ia berada di London dan Paris dan merasakan kerinduan yang luar biasa akan kampung halamannya di Spanyol. Pola melodi komposisi ini memberi kesan gaya musik yang kental dengan nuansa Espagnola. Sesungguhnya Cordoba maupun Asturias memang dua bagian yang termasuk dalam Suita Espagnola (Suita adalah musik instrumental yang merupakan rangkaian lagu pengiring tari peninggalan abad 17 – 18). Selain menampilkan komposisi karya Albenis, pada malam itu ditampilkan juga komposisi dari komposer jaman Romantik yang lain : Ludwig von Beethoven, Frederic Francois Chopin dan Claude Achille Debussy.
Jaman Romantik adalah jaman dimana perasaan sangat menguasai komponisnya, sehingga musik bukan sekedar keindahan bunyi, tapi musik sebagai cara untuk meluapkan ungkapan perasaan seseorang. Hiasan ornamentik semua dihilangkan kecuali triller, sebaliknya perhatian lebih diarahkan kepada dinamika dan agogik. Setiap nada punya makna yang penting. Itulah perubahan yang hakiki dari jaman Klasik ke jaman Romantik.





Ludwig von Beethoven yang oleh sebagian pengamat digolongkan sebagai jaman Klasik akhir, atau Romantik awal (ada juga yang menyebutkan komponis peralihan/transisi), malam itu ditampilkan karyanya Sonata opus 13 no 8 in c minor. Komposisi ini lebih dikenal sebagai Pathetique Sonata yang diberikan oleh seorang penerbit yang terkesan dengan suasana sedih yang mendalam dari pola melodi yang dimunculkan dalam komposisi tersebut. Sementara Chopin Malam itu ditampilkan dua komposisinya yaitu Nocturno opus 27 no 2 in d flat minor dan Ballade opus 23 no 1 in g minor. Nocturno yang berarti lagu malam yang bersifat halus, tenang dan romantis. Secara keseluruhan komposisi ini sangat kompleks tak tampak batasan yang jelas antara bagian bagiannya, namun masih terasa ide dan tema Sonatanya. Akan halnya Chopin sendiri, ia mempunyai bakat alamiah untuk bermain piano serta mampu menghasilkan gaya yang orisinal. Hal ini membuat ia dikagumi banyak orang. Ia meninggal dunia dalam usia yang relatif muda (39 tahun) karena penyakit tuberkulose.
Komponis yang terakhir adalah Debussy. Komponis berkebangsaan Perancis ini oleh sebagian ahli sejarah musik dikelompokkan jaman Modern, namun sekolompok yang lain masih memasukkan kedalam jaman Post Romantik (romantik akhir). Debussy banyak dipengaruhi oleh komponis komponis senior Perancis, antara lain Massenet, Faure dan Franck. Debussy juga terpengaruh dengan gamelan Jawa yang sempat ditontonnya di Paris tahun 1889 dan mempunyai pengaruh pada komposisi komposisi selanjutnya. Gaya musiknya yang ‘’berbau’’ pentatonis gamelan Jawa atau tangganada penuh itu (mempunyai efek trisuara trisuara yang augmented) menjadikan komposisinya sangat impresif, membuat banyak pengamat menyebut Debussy sebagai pelopor Impressionisme.Pada malam itu komposisi Debussy yang ditampilkan adalah Clair de Lune. Komposisi ini adalah bagian ketiga dari Suita Bergamasque (yang ditulis 1890 dan direvisi 1905).
Akan halnya Anita Tansajaya. Pianis muda Surabaya ini, tampil percaya diri. Walaupun keseluruhan komposisi dari komponis jaman Romantik namun tetap mempunyai karakter yang berbeda dan semuanya dimainkan nyaris sempurna. Penyusunan repertoirnya patut diacungi jempol. Pergelaran ini diawali dengan dua komposisi karya Chopin mengapit Asturias karya Albeniz.




Sesi berikutnya diawali dengan karya Albeniz dan Debussy (romantik akhir/jaman modern), dan ditutup dengan karya Beethoven (romantik awal/jaman klasik). Terasa sekali perbedaan suasananya. Tepuk tangan memanjang setelah karya Beethoven berakhir, membuat Anita memberi “Imbuh” dua Komposisi lain, yaitu Epitaph komposisi Jaya Suprana. Karya ini sangat “Njawani” dan memang ditulis untuk menghormati almarhum Ki Nartosabdo seniman tradisional yang dikagumi Jaya Suprana. Komposisi kedua sebagai “imbuh” adalah Czardas. Czardas adalah musik untuk ragam tarian berpasangan Hungaria. Kedua komposisi yang tak tercantum dalam program acara ini, dimainkan secara duet dengan biola.

Lagu Jiplakan

MENYOAL JIPLAK MENJIPLAK LAGU


Dulu,ada lagu Barat dinyanyikan oleh Elvis Presley judul lagunya “Cant help fallin in love with you” (CHFLY) kemudian lagu itu dipopulerkan kembali oleh Julio Iglesias. Lagu tersebut pantas terkenal, selain lagunya memang indah, pesan syairnya juga indah penyanyinyapun bagus, jadilah lagu tersebut sebagai lagu yang abadi dikenang selamanya. Di Indonesia lagu tersebut juga dikenal sepanjang masa bahkan menjadi lebih terkenal karena sebaris melodinya (satu motive) persis sama dengan bagian lagu Indonesia BAGIMU NEGRI ( BN ). Bagian akhir dari lagu CHFLY yang bunyi syairnya “ Fallin in Love With You” sering diplesetkan menjadi “ Jiwa Raga Kami”(bagian akhir dari lagu BN).untuk informasi Motive adalah rangkaian nada – nada yang terkelompok sekitar 2 birama/bar.
Pertanyaan berikutnya adalah, siapa yang menjiplak?. Koesbini pencipta BN atau pencipta CHFLY?. BN ditulis Koesbini tahun 1944, sementara CHFLY sekitar akhir tahun 50 an atau awal tahun 60 an. Kalau melihat fakta ini tentu bukan Koesbini yang menjiplak. Tapi BN apa juga beredar di Amerika Serikat negerinya Elvis Presley?, sehingga mengilhami penciptaan CHFLY?. Saya berkeyakinan kesamaan lagu antara BN dan CHFLY adalah hanya kesamaan ide. Peristiwa itu memang mungkin dan bisa saja terjadi. Jadi dalam kasus ini tidak ada yang menjiplak.
Lalu seperti apa yang dikategorikan menjiplak itu? Berikut ini saya kutipkan perumusan penjiplakan yang dibuat oleh Indonesian Composers and Arragers Assosiation: 1.Motif dan karakter sama dengan motif dan karakter komposisi musik/lagu yang sudah ada, dan/atau : 2. Temanya sama dengan tema komposisi musik /lagu yang sudah ada/diumumkan, dan /atau : 3. Struktur melodinya mengandung lebih dari 10% secara berturut turut melodi asli komposisi musik/lagu yang sudah ada/diumumkan dan atau: 4. Mempunyai kesamaan lebih dari 10% jumlah ruas secara berturut turut dari komposisi musik/lagu yang sudah ada/diumum kan, dan/atau :5. Liriknya lebih 10% secara berturut turut sama dengan lirik komposisi musik /lagu yang sudah ada.
Kelima rumusan tadi sama sekali tak menampung dan tak mentoleransi “ kesamaan ide” seperti yang saya contohkan diatas yaitu antara lagu BN dengan CHFLY. Saya pribadi kurang setuju dengan rumusan tadi.
Menurut pendapat saya ada empat macam peristiwa yang bisa terjadi , sehingga mengakibatkan sebuah ciptaan bisa sama. Yang pertama adalah “Kesamaan ide” contohnya adalah kasus BN dengan CHFLY itu tadi. Contoh yang lain adalah lagu Dari Sabang Sampai Merauke (DSSM) frase pertamanyamempunyai kesamaan dengan Frase pertama dari lagu Marseille/Marseillaise (lagu kebangsaan Perancis). Pada frase pertama DSSM yang syairnya ; “Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau pulau” 95% sama dengan Marseille. Perbedaannya hanya pada akhir frase, di DSSM progresi chordnya I - V – I sedang di Marseille progresi chordnya ii – V – I. Lagu Marseille diciptakan oleh Claude Joseph Rouget de Lisle pada 1892 tentu jauh lebih tua dari DSSM yang ditulis oleh Soeraryo diawal kemerdekaan. Tapi apa Soeraryo menjiplak dari lagu tersebut? perlu ada kajian yang lebih dalam.Saya pribadi meyakini hal tersebut sebagai “Kesamaan Ide” belaka. Kasus lain “Kesamaan Ide” adalah Lagu SEPHIA dari Sheila On Seven dengan lagu BEGADANGnya Rhoma Irama, perhatikan syair “Slamat Tidur Kekasih Gelapku…..” bandingkan dengan “Begadang Jangan Begadang …”Kedua bagian dari lagu tersebut mempunyai karakter yang sama.
Yang kedua : “terilhami oleh sebuah ciptaan yang lebih dulu ada” contoh kasusnya lagu SURAT UNDANGAN (SU) ciptaan Yules Fiole dengan I’LL BE THERE (IBT) yang dinyanyikan Michael Jackson.Kedua lagu tersebut mempunyai progresi chord yang sama dan pola melodi yang sama pula.Awampun segera bisa tahu dan merasakan kesamaan pada kedua lagu tersebut.Jadi apakah IBT menjiplak SU?. Kalau dilihat saat diciptakan, SU lebih dulu tercipta yaitu diawal tahun 60an, sementara IBT diciptakan diawal tahun 70an.Persoalannya kemudian adalah apakah pencipta IBT pernah mendengar lagu SU?. ini mengingat penciptaan IBT di Amerika Serikat, sementara SU diciptakan di Indonesia dan pada saat itu komunikasi lewat dunia maya tak segencar saat ini, atau malahan belum dikenal. Jawabannya kemudian : Jauh sebelum terciptanya kedua lagu tersebut adalah Carl Czerny (1791 – 1857) Komponis dan pianis berkebangsaan Austria yang banyak membuat nomor-nomor untuk studi piano. Salah satunya adalah Studi Piano Czerny opus 299 no 7 yang ternyata baik progresi chordnya maupun melodinya sangat mirip dengan lagu SU dan IBT tadi. Buku-buku Studi piano Czerny tersebar keseluruh dunia (termasuk Indonesia) dan menjadi acuan murid – murid piano sampai sekarang. Saya menduga kedua pencipta lagu SU dan IBT pernah belajar buku-buku studi piano Carl Czerny tersebut. Pola melodi dari Czerny yang indah itu tampaknya mengendap dalam ingatan alam bawah sadar mereka, yang kemudian muncul dan menjadi lagu SU dan IBT. Bahkan kalau kita amati dan rasakan lebih jauh lagu SAAT TERAKHIRnya ST 12 atau MUNAJAT CINTAnya Dhani Dewapun terinspirasi dari sana. Lalu, coba amati lagu O INANI KEKE (lagu daerah Minahasa) bandingkan dengan pola melodi IBU KITA KARTINI (WR Soepratman) kita akan mendapati 6 (enam) birama yang mempunyai kemiripan melodi satu sama lain.(tambahan informasi: dalam satu bait terdapat umumnya 8 birama)
Ada banyak kasus-kasus semacam itu, sebagai contoh : lagu anak anak “Bangun bangun hari sudah siang………….” sangat mirip dengan lagu JOYOUS FARMER (HAPPY FARMER) ciptaan komponis Jerman jaman romantik Robert Schumann (1810-1856). Begitu pula SONATINE Hob XVI no 35 ciptaan Franz Joseph Haydn (1732-1809) mempunyai kemiripan dengan lagu anak “ Dipuncak pohon kayu yang rindang, dua burung bersenang senang ………. “ .
Mirip dengan kasus IBT dan SU adalah kasus lagu Dangdut SMS. Beberapa tahun yang lalu terkenal dimasyarakat lagu Dangdut berjudul SMS (Short Massage Service). Lagu tersebut kemudian menjadi polemik dikalangan musisi Dangdut karena dianggap mirip bahkan sama dengan lagu India yang lebih dulu ada. Saya tertarik mengikuti polemik itu, dan ketika saya putar lagu SMS ternyata SMS sama persis dengan Symphony No 9 nya Beethoven (Ode to the Joy: Alle Menschen werder Bruder). Nah kalau mengingat Symphony tersebut ditulis oleh Beethoven tahun 1824 pasti baik SMS maupun si India itu terinspirasi dari Beethoven.
Yang ketiga : ada unsur kesengajaan mengganti syair lagu yang sudah ada dengan syair yang baru. Contoh untuk kasus ini : Tahun 50an dikalangan musisi Indonesia ada semangat memperkenalkan lagu lagu Daerah ke tingkat Nasional. Ada Oslan Husein yang memperkenalkan lagu-lagu Sumatra Barat,Grup Rindang Banua memperkenalkan lagu-lagu Kalimantan, Onny Suryono lagu daerah Jawa, juga Mus DS yang memperkenalkan lagu Sunda, Djajadi Djamain memperkenalkan lagu-lagu daerah Makasar. Salah satu lagu daerah yang terkenal waktu itu adalah lagu berbahasa Sunda judul PANON HIDEUNG (Mata Hitam). Lagu tersebut bagus, arransemen musiknya digarap dengan bagus juga. dan mejadi hit waktu itu. Tapi kemudian diketahui lagu tersebut bukan ditulis oleh komponis Indonesia, karena sebelum 1936 sudah ada lagu tersebut dan sudah disiarkan oleh radio NIROM yang dinyanyikan dalam bahasa aslinya Tsigana (Zigeuner/Gipsi), judul lagunya OTCI CHORNIA (yang artinya juga sama : Mata Hitam) . Dan ternyata lagu OTCI CHORNIA banyak diterjemakan dalam versi bahasa-bahasa yang bermacam macam. Di Jerman judul lagunya SCHWARZE AUGEN (mata hitam) juga dinegara- negara berbahasa Inggris dengn judul BLACK EYES. Contoh yang lain : lagu SEPATU KACA yang dinyanyikan Ira Maya Sopha diambil dari lagu Amerika Latin LA CUCARACHA.yang lain lagi lagu KOPI DANGDUT ternyat diambil dari lagu latin MOLIENDO CAFE.
Yang keempat : “Kesamaan progressive chord”, pengertiannya, adalah pergerakan/putaran chord (istilah Mus Mualim: circle chord) yang sama persis antara satu lagu dengan lagu yang lain, walau melodi bisa berbeda. Contoh yang umum pergerakan chord I - VIm - F - G, pergerakan semacam itu banyak dipakai oleh composer dalam mencipta lagunya. Tetapi karena progresi chord semacam itu sudah lazim dipakai maka semuanya menjadi wajar dan terbiasa. Contoh lain : lagu LOVE STORY dari Francis Lay progressive chordnya sama dengan ROMI DAN YULInya Idris Sardi. Ada sekitar 8 birama dari kedua lagu tersebut mempunyai kesamaan chord.
Kesimpulan: Tidak semua lagu/komposisi yang mempunyai kesamaan melodi atau chord sebagai menjiplak.Tidak semudah itu memvonis sebuah ciptaan sebagai jiplakan. Perlu dicari asal muasal penciptaan. Perlu penelitian lebih jauh, kajian yang lebih mendalam “Siapa menjiplak siapa,Siapa menjiplak apa”. Karena, begitu seorang komponis dicap sebagai penjiplak maka nama dan harga dirinya akan jatuh tak dihormati lagi. Meminjam istilah para politisi “Akan terjadi Character Assasination”. SELAMAT MENCIPTA.

Jupe jadi Bupati

JUPE JADI BUPATI ?

Masyarakat Pacitan geger, Julia Perez seleb yang masuk 100 wanita terseksi didunia, nyalon Bupati. Di Televisi, pendapat masyarakat Pacitan terbelah (seperti hitnya: Belah Duren), ada yang setuju, katanya kalau nanti jadi Bupati pasti tampilannya enggak akan begitu lagi. Tapi ada juga yang tidak setuju karena diragukan cara tampilannya kelak kalau jadi Bupati. Yang paling keras pernyataan penolakannya justru datang dari rekan sesama artis/seniman sendiri. Adalah Dibyo seniman disana, Ia menyatakan tersinggung kalau Jupe jadi Bupati Pacitan, tanpa penjelasan kenapa harus tersinggung.Menjadi Bupati tentu tidak mudah, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang calon Bupati. Ia harus sehat jasmani rokhani, memenuhi syarat syarat administrasi (latar belakang pendidikan, dll) mendapat dukungan dari partai politik setempat, track reccord harus bagus, visi dan misi harus jelas, dana harus cukup dan yang terakhir diterima oleh masayarakat melalui pemilukada.Menurut Mendagri, ada 16 tahapan , seseorang untuk bisa menjadi bupati. Jadi masih panjang perjalanan Jupe kesana. Jupe sendiri di televisi mengakui dengan jujur bahwa dia belum pernah ke Pacitan. Tapi berjanji akan mengabdikan dirinya untuk Pacitan. Saya menangkap ada perasaan kawatir yang berlebihan dari masyarakat kepada kepada artis/seniman manakala mereka mencalonkan diri jadi pejabat. Padahal, Ketika Politikus, Jenderal bahkan Presiden masuk dapur rekaman bikin album tidak seorang senimanpun yang geger, ribut apalagi was was kawatir lahannya tergeser. Sesungguhnya punya pejabat seorang seniman kan bukan pengalaman pertama bagi kita di Jawa Timur. Soenaryo, Wakil Gubernur kita yang lalu kan juga seniman dalang yang handal. Menurut saya biarkan Jupe melalui tahapan tahapan yang harus dilalui, kalau memang tak memenuhi syarat pasti dia akan tergusur dengan sendirinya. Biarlah semuanya berjalan alami, Jadi tidak perlu menolak apalagi tersinggung.

Musikalisasi Puisi

MUSIKALISASI PUISI.

Sesuai dengan namanya, Musikalisasi puisi ( ada yang menyebutkan Poetry Singing , Musik Puisi, Tembang Puitik),adalah memusikkankan puisi. Tujuannya untuk memberi makna yang lebih jelas pesan yang ingin disampaikan dari isi puisi tersebut. Dalam catatan sejarah musik Indonesia modern, Musikalisasi Puisi bermula dari kerja sama yang bagus antara sastrawan Sanusi Pane dengan musikus Cornel Simanjuntak menghasilkan beberapa lagu seriosa yang indah antara lain berjudul Kemuning, Oh Angin. Hasil yang indah itu dilanjutkan oleh RAJ Soedjasmin pemusik sejaman dengan Binsar Sitompul (pencipta lagu Andhika Bhayangkari). Soedjasmin tertarik dengan puisi berjudul Aku ciptaan Chairil Anwar, ketertarikannya diwujudkan dengan membuatkan sebuah komposisi musik untuk puisi tersebut. Komposisi Seriosa yang kemudian diberi judul Semangat itu, sangat terkenal dikalangan penyanyi seriosa. Soedjasmin juga membuat komposisi untuk karya Chairil Anwar yang berjudul Lagu Biasa. Ditahun 1960an FX Soetopo, komponis (jabatan terakhir Direktur kesenian DitJen Kebudayaan Depdikbud) tertarik juga dengan puisi ciptaan Chairil, salah satunya Cintaku Jauh di Pulau yang akhirnya menjadi sebuah lagu yang bagus( jenis seriosa) dan menjadi lagu yang sering dijadikan lagu wajib pada lomba- lomba lagu seriosa.Selain itu FX Soetopo juga bekerja sama dengan penyair Kirjo Mulyo , kerja bareng ini menghasilkan lagu-lagu antara lain Puisi Rumah Bambu, Elegie dll.Ditahun 1970an, pemusik pop Bimbo bekerja sama dengan penyair Taufiq Ismail menghasilkan lagu-lagu Pop Nasyid, antara lain : Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya, Sajadah Panjang, Rindu Rosul dll. Lalu ditahun 1980an Liliek Soegiarto pemusik sekaligus arranger paduan suara yang handal, menulis lagu berdasarkan puisi ciptaan penyair angkatan Pujangga Baru Amir Hamzah berjudul Doa. Terakhir ditahun 2000an, pemusik Ananda Sukarlan menulis lagu untuk vokal berdasarkan dari puisi penyair Gunawan Muhammad dan Sapadi Djoko Damono. Antara lain Sajak untuk Bungbung, Perjalanan Malam, Fana adalah Waktu.
Proses terjadinya penciptaan Musikalisasi Puisi: Ada 2 (dua) cara, yang pertama pemusik menawarkan karyanya kepada penyair untuk diberi syair atau sebaliknya penyair menawarkan karyanya kepada pemusik untuk diberi melodinya. Contohnya adalah kerja sama antara Bimbo dengan penyair Taufiq Ismail. Cara yang kedua, pemusik tertarik pada puisi yang sudah ada dan kemudian diberi melodinya. Contohnya, Lagu Biasa puisi ciptaan Chairil Anwar yang ditulis 1943 ini, baru ditulis musiknya oleh RAJ Soedjasmin tahun 1955. Tapi apa cuma itu proses penciptaan Musikalisasi Puisi dan kemudian jadilah sebuah ciptaan baru?. Ternyata tidak sesederhana itu, ada hal hal yang harus diperhatikan oleh kedua pemusik dan penyair agar ciptaan itu bisa menjadi karya yang sempurna.




Hal yang pertama, adalah melodi dari musik harus sesuai dengan pesan syairnya atau sebaliknya, karena kalau tidak sesuai bahkan bertentangan akan menjadi sesuatu yang kurang bagus. Contoh kasus : perhatikan lagu berjudul Naik Naik Kepuncak Gunung. Pada syair Tinggi tinggi sekali, pola melodi justru bergerak turun, ini tentu kurang pas. Contoh yang pas misalnya : lagu Joy to the World , perhatikan syairnya, Kalimat 1: Joy to the world, the Lord is come. kalimat 2 :Let earth recieve the King. Pada kalimat pertama (Frase 1) musik dimulai dari C’’ (Do atas) bergerak turun secara berurutan ke C’ (Do bawah), ini sesuai dengan pesan syair “the Lord is come” The Lord (Tuhan)dibayangkan datang dari tempat yang tinggi/atas, sehingga pola melodi juga bergerak dari atas turun kebawah. Sebaliknya di kalimat ke 2, pada syair “Let earth recieve the King” pola melodi bergerak naik dari G’ (sol rendah) menuju ke C’’(Do atas) sesuai dengan pesan syairnya.
Hal kedua, setiap lagu dan puisi punya struktur kalimat yang harus diperhatikan. Menempatkan struktur kalimat puisi yang tidak sesuai dengan struktur melodi berakibat kurang jelasnya makna dari puisi itu sendiri. Sebagai contoh pada lagu “First love”. Perhatikan kalimat syairnya (baris pertama): They all say, I’am not the same kid, baris kedua I use to be. Tapi kalau kita denganr lagunya, akan terdengar begini: They all say, I’am not the same sedang baris kedua menjadi Kid I use to be. Kata Kid, yang seharusnya masuk kebaris pertama, “terpaksa” masuk kebaris kedua mengikuti struktur musiknya. Akibatnya maknanya jadi kabur. Contoh yang lain , lagu berjudul Rindu, syair sepenuhnya mengikuti struktur musiknya membuat arti dan maknanya menjadi tidak jelas. Perhatikan syairnya : Rindu Lukisan/ mata suratan/hatiku nan merindu. Kalau struktur musik diubah mengikuti struktur syairnya barangkali maknanya menjadi jelas, misalnya : Rindu lukisan mata/ suratan hatiku nan merindu.
Musikalisasi puisi masih kurang pelakunya, ini karena mecipta musik puisi lebih rumit. Masyarakat umum berharap ada pemusik dan penyair bisa berkolaborasi melahirkan musik yang indah dari isi musiknya dan indah juga dari sisi syairnya. Semoga.

Musik dan Nasionalisme

MUSIK DAN NASIONALISME


1. Musik adalah bahasa bunyi, jadi seseorang bermain musik artinya dia sedang menyampaikan perasaannya lewat bunyi, perasaan itu bermacam macam bisa patah hati, jatuh cinta, benci, rindu,dendam, memuja kepada Tuhan, memuji kepada tanah air dsb. Jadi ketika pemusik memainkan musiknya sementara penontonnya ribut sendiri samasekali tak merespon bunyi yang dihadirkan, artinya pemusik tersebut gagal mengekpresikan perasaannya.

2. Ada 4 (empat) karakter bunyi :

a. mempunyai PITCH.
b. mempunyai DURASI
c mempunyai INTENSITAS
d. mempunyai TONE COLOR




3. Selain keempat karakter bunyi tersebut, ada satu hal lagi yang penting yaitu PEMBAWAAN ATAU PENAFSIRAN lagu.
4. Dengan mengenal keempat karakter bunyi tersebut ditambah dengan Pembawaan dan Penafsiran lagu, pemusik akan lebih maksimal dalam mengekpresikan perasaannya. Persoalannya kemudian adalah : ketika seorang pemusik tak bisa maksimal memanfaatkan keempat karakter bunyi tersebut, larinya ke liryk, sehingga terjadilah sebuah musik yang sederhana dengan liryk yang berkobar kobar.

5. Nasionalisme adalah faham kebangsaan, khusus nasionalisme Indonesia jiwanya ada pada penghormatan kepada perbedaan, dan penghargaan kepada kebhinekaan tanpa membedakan latar belakang. Bung Karno punya rumusan yang lebih mencakup : Kita mendirikan Negara semua buat semua.

6. Menghubungkan antara MUSIK dan NASIONALISME adalah bagaimana membangun dan meningkatkan semangat nasionalisme melalui ciptaan ciptaan musik.

7. Sesungguhnya masih sulit dicari rumusannya bagaimana menciptakan sebuah lagu (musik) yang dapat membangkitkan semangat (Nasionalisme, Patriotisme dll). Almarhum Koesbini pencipta lagu BAGIMU NEG’RI dalam sebuah ceramahnya pernah mengatakan bahwa lagu BAGIMU NEG’RI ditulis sebagai lagu anak anak (dolanan) tidak seperti sekarang ini menjadi sebuah lagu HYMNE yang penuh makna. Persebaya punya lagu Mars untuk membangkitkan semangat, namun yang terkenal adalah OLE OLE lagu yang sederhana bahkan liriknya tidak punya makna harafiah, Para supporter menyanyikan lagu tersebut dan terbukti mampu membangkitkan semangat pemainnya. RAJ Sudjasmin seorang komponis , tertarik dengan puisinya Chairil Anwar berjudul AKU , ia ciptakan musiknya dengan karakter semangat sesuai dengan karakter puisinya yang berapi api,padahal yang sesungguhnya puisi itu adalah penolakan Chairil akan ajakan ayahnya untuk kembali berkumpul diMedan.

8. Namun secara umum menulis lagu untuk membangkitan semangat Nasionalisme (dan yang lain) adalah dengan membuat durasi dgn ritmis yang patah2/menghentak, dalam irama Mars (tempo di Marcia), dan dalam tangganada Mayor, walaupun banyak juga lagu yang ritmis tidak patah2/menghentak , tidak berirama mars dan tidak mayor namun mampu juga membangkitkan semangat Nasionalisme.

Mengkeroncongkan Masyarakat


MENGKERONCONGKAN MASYARAKAT
DAN
 MEMASYARAKATKAN KERONCONG, BISAKAH?


I.                    PENDAHULUAN.
KERONCONG adalah jenis musik yang paling terpinggirkan di negeri sendiri, ia terseok- seok dan tertatih-tatih berjalan mengejar ketertinggalannya  dengan musik Jazz, Pop, Rock, Classic bahkan dengan Dangdut yang sekian tahun  lalu masih bisa berdampingan dan  bergandengan tangan (sambil meratapi nasib yang sama). Kini, beruntung Dangdut punya figure Rhoma Irama yang mampu mengatasi “Krismon”  yang melandanya. Sementara di Keroncong krisisnya berkepanjangan dan tak teratasi sehingga pada akhirnya membuat kurang percaya diri. Ia diejek dan menjadi guyonan dilingkungannya. Lihat saja banyolan yang menyakitkan : Mendengar keroncong  jadi ngantuk, atau ini : Perutku keroncongan dari pagi belum makan, atau yang lain lagi : Keroncong....? Ah, itu kan musiknya orang tua. Bahkan istilah Buaya Keroncong itupun awalannya adalah kata kata ejekan. Keroncong juga disalahkaprahkan, Ia dibilang dari Portugis tanpa ada penjelasan yang “nyambung” mengapa bisa sampai ke Indonesia.
KERONCONG memang mempunyai dua sisi, disatu sisi ia kuno, statis, tak menarik dan tak marketable sehingga kemudian melahirkan guyonan dan banyolan yang menyakitkan tadi. Disisi  yang lain/sisi yang baik (sayang lepas dari pengamatan), ia adalah hasil local jenius dari bangsa Indonesia. Betapa tidak  ? Keseluruhan peralatan musik keroncong adalah instrumen musik barat, akidah yang dipakai adalah akidah musik barat mulai bentuk komposisinya, aturan harmoninya, progressive chordnya dan lain lain. Namun, begitu ia dimainkan,  nuansa tradisi Indonesia terasa kental sekali. Cello berubah fungsi menjadi Kendang, Gitar menjadi Siter, Bass menirukan Gong, Kethuk Kenong diperankan oleh Cuk dan Cak,  Flute meniru warna suara Seruling sedang Biola menggantikan posisi Rebab,sangat NJAWANI. Tentu saja setiap daerah di Indonesia mempunyai warna yang berbeda. Di Sumatera misalnya cuk dan cak lebih bernuansa Talempong ketimbang Kethuk Kenong. Begitu pula di derah-daerah lain di Indonesia, warna lokalnya sangat kental dan orisinal. Itulah sesungguhnya kekuatan Keroncong. Mampu beradaptasi dengan lingkungannya, sayangnya belum optimal  tergali dan termanfaatkan. Ini semua adalah tanggungjawab kita selaku insan penghayat musik KERONCONG.
Tulisan ini dimaksudkan memberikan gambaran yang lain tentang Keroncong  sekaligus memberikan usulan mengatasi badai “Krismon” dijagad  musik KERONCONG di Indonesia.  
II.                  PENGERTIAN KERONCONG.
 Menurut Harmunah: Musik Keroncong,Sejarah,Gaya dan Perkembangannya/penerbit Pusat Musik Liturgi 1987. Nama “ Keroncong” berasal dari  bunyi gelang kaki penari Ngremo.   Tetapi ada yang beranggapan bahwa keroncong berasal dari bahasa Portugis yaitu Krouco yang artinya kecil (Harmunah: Perkembangan Musik Keroncong di Indonesia, Yogyakarta 1997). Ada benarnya juga, karena Keroncong  adalah alat musik yang bentuknya kecil dibanding dengan alat musiK yang lain. Sedangkan menurut M.Soeharto: Kamus Musik Indonesia/penerbit PT Gramedia Jakarta 1978, pengertian Keroncong  terbagi menjadi 4. Pertama: Keroncong adalah alat musik sejenis Gitar kecil dengan empat atau lima dawai/senar.  Kedua:  jenis permainan musik yang ciri khasnya  terletak pada pola permainan alat musik Keroncong.  Ketiga: jenis orkes /ansamble yang terdiri dari Biola,Flute,Gitar,Keroncong/Cuk, Banyo/Cak,Cello dan String Bass. Keempat: Bentuk komposisi lagu yang terdiri atas 28 birama dengan progressive chord  yang tertentu.

Pengertian yang lain: kata Keroncong berasal dari pembentukan kata berdasarkan tiruan bunyi (contoh: Tokek,Cicak,Dangdut, ecek-ecek). Dalam permainan keroncong bunyi yang paling dominan adalah bunyi keroncong itu sendiri yang terdengar ditelinga adalah cong…, crong…., cong….  Istilah bahasanya adalah Onomatopoeia.  Perkembangan selanjutnya Keroncong tidak hanya mengiring bentuk permainan Keroncong (yang 28 Birama) tapi juga bentuk komposisi yang lain (Langgam, Stambul II) bahkan lagu Pop Indonesia/barat, Dangdut, Samroh pun  dikeroncongkan.
III. SEJARAHNYA.
Tahun 1492,Christopher Columbus menemukan benua Amerika, hal  ini membuka jalan  bagi bangsa-bangsa Eropa untuk memperluas dan memperkuat  ekonominya dengan cara mencari daerah-daerah  baru yang subur di Timur (Asia, Afrika). Tahun 1511 pedagang Portugis sampai di Indonesia dan dimulailah Kolonisasi di Indonesia. Pada saat itulah timbul persentuhan budaya antara bangsa Portugis dan Indonesia dan dari situ pulalah  munculnya  kesalahkaprahan tentang Keroncong: ”Keroncong berasal dari Portugis”. (Lebih jauh hal ini akan diurai di bab IV). Dalam perjalanan semenjak abad XVI musik Keroncong mengalami proses penyempurnaan mulai dari alat musiknya, cara mainnya, lagu-lagunya. Pada awalnya alat musiknya terdiri dari Mandoline, Tambourine, Rebana, Triangel. Beberapa pengamat menyebutkan awal abad XX, gitar mulai masuk melengkapi peralatan permainan musik Keroncong. A.Th. Manusama perintis pencatatan lagu-lagu Keroncong mengatakan : tahun 1920 Flute dan Biola masuk melengkapi bezzeting Keroncong. Disekitar tahun itu pula bentuk komposisi Keroncong Asli (28 birama) menjadi baku, sedangkan di tahun 1930-an peralatan musik Keroncong sama dengan peralatan Keroncong sekarang. Kemudian dengan masuknya komidi stambul atau Tonil dari Turki, melahirkan bentuk komposisi baru yang disebut Stambul II (menurut Koesbini : Stambul ada 7 (Stambul I;II;III;IV;V;VI;,VII). Penamaan “Stambul” ini diperkirakan pengaruh dari nama kota Istambul, ibukota Turki. Masih menurut Koesbini, bentuk komposisi  Stambul adalah komposisi dengan tempo Adagio dan tidak boleh memakai irama rangkap (double) karena lagu Stambul bertemakan hal-hal yang sedih, melankolik, romantis. Namun ditahun 1960-an Oslan Husein memperkenalkan lagu “Stambul Cha Cha” yaitu lagu Stambul berirama gembira dan lincah. Stambul Cha Cha menjadi Hit waktu itu sekaligus  mengubah pandangan dan gaya permainan lagu-lagu Stambul.
Sementara itu pengaruh musik Barat dengan bentuk komposisi baru yaitu langgam, banyak mempengaruhi komposisi Keroncong pada masa itu dan melahirkan komposisi baru yang disebut Langgam Keroncong (dengan  tokohnya Gesang). Sedang langgam Jawa lahir sesudah itu (1950 sampai 1960-an) tokoh-tokohnya antara lain: Darmanto, Ismanto, Andjar Ani dan lain-lain. Sedang para penyanyinya antara lain Waldjinah, Eni Kusrini, Darsih Kisowo dan lain-lain. Salah satu ciptaan lagu langgam Jawa diawal munculnya antara lain, lagu Bocah Gunung.
Perkembangan berikutnya (1967) adalah lahirnya “ Keroncong Beat” yang dipelopori oleh Brigjen Rudi Pirngadi dengan Orkes Keroncong Tetap Segar. Pembaharuan yang dilakukan Rudi Pirngadi antara lain membentuk orkes keroncong dengan formasi orkes symphony dan memasukkan lagu-lagu Barat diiringi dengan permainan orkes symphony berirama Keroncong dalam reportoirnya. Tahun 1971 dalam lomba orkes keroncong se Jawa Timur di Surabaya, salah satu peserta  memasukkan bentuk Paduan Suara dalam permainan orkes Keroncongnya, itulah pertama kali orkes Keroncong mengiringi Paduan Suara. Dipenghujung tahun 1970-an Mus Mulyadi merekam lagu-lagu Keroncong, Mus Mulyadi yang latar belakang musiknya  adalah Pop, tiba-tiba harus menyanyi keroncong. Maka yang terasa kemudian adalah gaya keroncong yang dilebih-lebihkan (cengkok,Gregel dan Embatnya). Pemusik-pemusik keroncong tua risih dengan gaya yang berlebihan itu, namun pada akhirnya gaya Mus Mulyadi diterima juga.  Selanjutnya (1996) Rama Aiphama memperkenalkan Keroncong Reggae dengan mendaur ulang lagu-lagu Dinda Bestari, Keroncong Telomoyo dan lain-lain menjadi berirama Reggae. Awalnya memang terasa janggal namun pada akhirnya diterima juga oleh mayarakat Keroncong. Menurut Andjar Ani : “Bisa saja suatu saat muncul Congrock (keroncong Rock), atau Congrap (Keroncong Rap)”. Di TVRI Surabaya Sulistyo Hadi telah mempelopori  Congdut (Keroncong Dangdut).
Di Syair pun ada upaya pembaharuan. Pada masa 1920-an isi syair Keroncong masih berupa kata/ucapan yang kurang jelas maksudnya, masih penuh dengan kata-kata : jiwa manis, indung sayang, Ya Nona, Ya Tuan dan lain-lain yang tidak “nyambung” dengan keseluruhan isi syair. Baru pada tahun 1935, ketika Koesbini “si Buaya Keroncong” memperkenalkan Syair Keroncong  gaya baru yang berjudul Kr. Kewajiban Manusia, yang didalam syairnya terdapat kesinambungan antara baris satu kebaris dua, bait satu kebait dua serta memuat pesan-pesan yang jelas.  Maka semenjak itu, perubahan syair Keroncong terus terjadi dan mencapai puncaknya pada awal-awal perang kemerdekaan. Ketika semua isi syair dari lagu yang diciptakan mempunyai kandungan arti yang jelas  contoh : Sepasang Mata Bola, Selendang Sutra, Pahlawan Merdeka, Karangan Bunga Dari Selatan, Rangkaian Melati dan lain-lain yang dipelopori oleh Ismail Marzuki, Arimah (Maladi). Pada masa sekarang isi syair Keroncong banyak dipakai  untuk pesan-pesan pembangunan misalnya :                Kr. Keluarga Berencana, Kr. Wajib Belajar, Kr.  Bahana Pancisila. Pelopornya antara lain Budiman BJ.   
IV. BENARKAH KERONCONG BERASAL DARI PORTUGIS ?
1.       Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan beberapa kali menyelenggarakan lomba /festival Keroncong tingkat Nasional yang diikuti oleh perwakilan grup Keroncong dari seluruh Propinsi se-Indonesia. Menariknya, hanya satu propinsi waktu itu yang tidak pernah mengirim wakilnya yaitu propinsi Timor Timur. Ini sesuatu yang sangat aneh. Timor Timur adalah sebuah daerah /wilayah yang  kurang lebih 400 tahun dijajah Portugis. Tentunya akar budaya Portugis  akan kental dan sangat kuat tertancap di sana. Tentu saja termasuk budaya Keroncong yang katanya berasal dari Portugis. Namun pemerintah Timor Timur ternyata tak mampu menghadirkan orkes Keroncong dalam lomba/festival tersebut. Ini karena realitanya tidak ada grup keroncong di TIMOR TIMUR. Fakta ini menjawab sekaligus mematahkan kesalahkaprahan bahwa Keroncong berasal dari Portugis.
2.       Bapak Andjar Any  pernah mengkhususkan waktu untuk bertanya dengan Consul Kebudayaan Portugal, Antonio Plato da Franca pada 30 oktober 1969 tentang Keroncong.  (Andjar Any : Musik Keroncong menjawab tantangan jamannya/Bahan Penataran Seni Musik 1997 Direktorat Kesenian Depdikbud). Jawabannya : di Portugal baik dulu maupun sekarang tidak ditemukan  permainan, gaya, bentuk komposisi yang menyerupai dengan musik  keroncong.
3.        Departemen Pendidikan Kebudayaan, Kantor Wilayah Jawa Timur , pada 1991 mengirim misi Kesenian ke Spanyol (tepatnya di kota Sevilla, yang jaraknya dengan Portugal hanya sekitar 40 Km) dan ternyata sedikitpun tak tercium bau Keroncong di sana.
4.       Di negara-negara bekas jajahan Portugis yang lain pun tak ditemukan model musik yang mirip-mirip Keroncong.
Yang terjadi sesungguhnya adalah persentuhan budaya antara  Portugis dengan  Indonesia. Portugis memperkenalkan instrumen musik Barat kepada bangsa Indonesia, lalu bangsa Indonesia dengan kearifan lokalnya mengadaptasi alat musik tersebut berkarakter musik Indonesia.

V.MENGKERONCONGKAN MASYARAKAT DAN MEMASYARAKATKAN KERONCONG, BISAKAH ?
Musik Keroncong pada dasarnya digolongkan sebagai Chamber Music (musik Kamar), artinya ia dimainkan dalam ruang tertutup dengan penonton yang terbatas dan betul-betul datang untuk menikmati musik. Rasanya tidak mungkin Keroncong dipertunjukkan seperti misalnya musik Rock yang dipergelarkan ditempat terbuka dan dengan penonton sampai puluhan ribu orang. Ia seperti  musik-musik Klasik di Barat (dalam bentuk Kwartet,kwintet, atau ansamble kecil) penonton menikmati, dan setelah selesai satu lagu, penonton memberikan tepukan  dengan tertib. Tidak ada hura-hura, tidak perlu penjagaan Polisi, tidak perlu Water Canon untuk menyemprot penonton yang kepanasan. Pertanyaannya kemudian adalah : “ Mengapa musik yang demikian bagus, hasil kearifan lokal bangsa Indonesia justru tak diminati oleh pemiliknya sendiri?” Jawabannya adalah :

1.       Performance yang tidak menarik
 Kita sekarang hidup dijaman optik. Jaman yang diutamakan pada sisi pandang   mata. Jadi ketika mata tidak dipuaskan maka pertunjukan itu ditinggal penontonnya. Kalau mau jujur pemusik Keroncong pada umumnya tampil seadanya mulai  Kostum sampai dekorasi panggungnya. Tampilannya juga nyaris tanpa ekspresi, dan tidak dinamis.

2.       Kurangnya pengetahuan musik
 Sekali lagi kalau mau jujur, rata-rata pemusik Keroncong, kurang atau bahkan tak memahami ilmu-ilmu musik. Kalau ada penyanyi yang mengacungkan satu jarinya kepada pemusik Keroncong maka itu artinya main ditangga nada G (satu sharp) tidak ada pemusik  Keroncong yang menafsirkan lagu itu dimainkan di tangga nada F (satu Flat). Atau kalau dua jari diacungkan artinya main di D (dua flat) tidak ada yang menafsirkan main di Bes (dua Flat), tampaknya sepele tapi kedepan ini akan menghambat, selebihnya wallahualam.


3.       Kurangnya Fighting Spirit 
Kurang semangat untuk maju, menerima apa adanya. Kadang terkesan para pemusik Keroncong menganggap begini saja sudah cukup, perlu apa lagi ?

4.       Kurangnya ciptaan-ciptaan baru  
Dalam setiap lomba menyanyi keroncong, lagunya selalu itu-itu juga, kalaupun ada lagu baru kemampuan membaca notasi lemah atau bahkan tidak bisa membaca sama sekali. Ini tentunya menghambat majunya Keroncong.  

5.       Keroncong tidak punya figur kuat sebagai panutan
Dangdut punya Rhoma Irama yang musikal, kreatif, inovatif dan tahan banting. Ditahun 1970-an Rhoma diejek, dicerca oleh pemusik diluar Dangdut (untuk diketahui kata Dangdut itupun adalah sebutan yang mengejek). Tapi Rhoma tak goyang. Ia lawan ejekan dan cercaan dengan ciptaan-ciptaan baru. Salah satu lagu ciptaannya yang ditujukan kepada musuh-musuh Dangdut  berjudul MUSIK, syairnya antara lain berbunyi : “Boleh Benci Jangan Mengganggu”.  Rhoma terus berkreasi. Ia masukkan unsur musik diluar Dangdut tanpa menghilangkan karakter Dangdutnya. Hasilnya, sungguh  luar biasa. Musik Dangdut makin disukai. Puncaknya, di tahun 1980-an Rocker paling top Ahmad Albar tergoda untuk menyanyi lagu Dangdut  berjudul ZAKIA. Lagu itu meledak dipasaran, buntutnya masyarakat dari bermacam golongan (termasuk pejabat) mengenal dan menyukai Dangdut.(Perlu diketahui, Basofi Soedirman/mantan gubernur Jawa Timur, bahkan sempat mengeluarkan dua album Dangdut. Salah satu hit-nya adalah lagu “Tidak Semua Laki-Laki”). Keroncong perlu figure seperti Rhoma Irama, yang tak goyang oleh goncangan, tetap kreatif dan inovatif.

6.       Keroncong butuh Maecenas
Maecenas adalah dewa pelindung Kesenian. Keroncong perlu mempunyai “ Bapak Pelindung” yang memberikan perlindungan baik material maupun moral. Di Amerika Serikat Negara yang mempunyai tingkat apresiasi yang tinggi terhadap kesenian, mempunyai 60 orkes symphony. Dari ke 60 grup tersebut, hanya ada sekitar 5 orkes yang mampu menghidupi dirinya sendiri dari hasil penjualan tiketnya. Yang lain masih disubsidi pemerintah. Di Indonesia, grup-grup Orkes symphonypun mempunyai “Bapak Pelindung”. Tercatat mantan Menlu, Mochtar Kusumaatmadja, petinggi Bank Indonesia, Miranda Goeltom, Pengusaha Bakrie Brothers adalah Maecenas-Maecenas untuk Orkes symphony di Indonesia.
Di bidang Olah Raga lebih jelas lagi keterlibatan para pejabat sebagai “Bapak Pelindung”. Setiap induk organisasi olah raga hampir pasti diketuai oleh  menteri atau pejabat setingkat menteri.

7.       Keroncong terkesan eksklusif
Seorang narasumber (pemusik cafe, masih muda,berbakat), mengatakan  itu: “Kalau aku pingin belajar Keroncong kemana? Dimana ?,Kalau belajar musik klasik atau jazz, aku bisa ke kursus-kursus musik. Kalau Dangdut aku bisa beli CD-nya mulai di kakilima sampai di Mall”. Ini pernyataan  yang mengejutkan dan mengagetkan. Tapi realita di lapangan memang begitu. Hal ini adalah PR bagi para penghayat Keroncong, sekaligus tantangan untuk ditindaklanjuti.
 Ketujuh masalah itulah sesungguhnya yang membelit Keroncong. Agak susah dicari ujung  dan pangkalnya. Dari mana harus dimulai? Apa figur semacam Rhoma harus ada dulu? Kapan? Atau  performance terlebih dahulu dibenahi?  Tapi kalau penontonnya tidak ada, apa gunanya?  Apa ciptaan baru diperbanyak? Kemudian direkam? Lalu siapa pembelinya? Apa dicari “Bapak Pelindung” yang bisa mensupport Keroncong lebih dulu?.

VI. SARAN :  
1.       Minat terhadap musik  keroncong khususnya di kalangan remaja segera dikembangkan. Caranya membentuk satu grup keroncong anak muda  yang mempunyai ketrampilan teknis yang memadai, arransemen yang bagus,dengan repertoire lagu Pop yang dikeroncongkan  untuk ditampilkan kepada masyarakat umum.
2.       Memperbanyak lomba-lomba musik keroncong diawali dengan lomba-lomba untuk vokal keroncong terutama dikalangan generasi muda.
3.       Membangun komunitas-komunitas Keroncong di masyarakat umum. Di Surabaya ada komunitas musik Jazz namanya C Two Six (C 26). Tugasnya memperkenalkan musik Jazz kepada masyarakat, menghilangkan eksklusivitas Jazz di masyarakat dengan cara pergelaran, diskusi dan menyediakan sarana latihan (tempat dan peralatan ) kepada generasi muda berolah musik Jazz.
4.       Menjalin hubungan dengan dengan kantor-kantor dinas yang berhubungan dengan Budaya (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pendidikan). Ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kita bisa ikut mengisi kegiatan kegiatan/Program Program yang berhubungan dengan pergelaran musik, misi kesenian dsb. Sedang ke Dinas Pendidikan kita bisa mengajukan usulan masukan agar musik Keroncong dapat menjadi bagian mata pelajaran Kertakes (Kerajianan tangan dan Kesenian) 
5.       Menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga Kesenian (Dewan Kesenian, Musyawarah Guru Mata Pelajaran Kesenian).
6.       Mencari hubungan dengan lembaga-lembaga diluar negeri yang bisa mensponsori kegiatan-kegiatan/aktifitas kesenian.

VII.              PENUTUP
Didunia sepak bola kita mengenal istilah “Total football” suatu strategi sepak bola yang tidak mengenal posisi, setiap pemain dituntut menjadi pemain bertahan sekaligus penyerang. Seorang pemain bertahan tiba-tiba bisa muncul disayap kiri dan ikut menyerang dan mencetak gol. Seorang pemain harus punya kemampuan yang lengkap. Insan Keroncong harus mempunyai semangat “Total Football” untuk memajukan Keroncong.  
Diperlukan daya juang, stamina dan semangat yang tinggi di kalangan “Orang dalam Keroncong” untuk menjadi relawan tangguh melaksanakan saran saran tadi. Karena ini adalah kerja berat, panjang dan pasti melelahkan. Ada ungkapan: “ ROMA tidak dibangun dalam sehari”. Jadi jangan gentar dan putus asa. Perjalanan memang masih jauh, tapi sejauh apapun harus dimulai dari sekarang. Kalau tidak, kapan lagi?
Kita sudah jauh tertinggal dengan jenis musik yang lain.  Semangat Maju Terus Pantang Mundur harus ditanamkan didiri kita, agar cita cita MENGKERONCONGKAN MASYARAKAT DAN MEMASYARAKATKAN KERONCONG segera tercapai. Semoga!