Minggu, 29 Mei 2011

Hari Musik Indonesia

HARI MUSIK INDONESIA 09 MARET, . . LALU . . . .

Banyak yang belum tahu, tanggal 09 Maret adalah Hari Musik Indonesia. Padahal Hari Musik Indonesia tersebut sudah dicanangkan lebih sewindu yang lalu, dimasa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Tanggal 09 Maret dipilih sebagai Hari Musik Indonesia atas usulan PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia), karena hari itu adalah hari lahir pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya WR Soepratman 09 Maret 1903. Sayangnya gaung dihari itu tak terasa sama sekali. Di salah satu Televisi swasta seorang presenter hanya menyebutkan hari itu adalah hari musik Indonesia lalu kemudian dia kembali kepada acara yang dibawakannya, tanpa sedikitpun ulasan tentang hari musik itu sendiri, misalnya mengajak audiens mengenang sejenak WR Soepratman yang berjasa menciptakan lagu yang terbukti mampu menyemangati, mengilhami para pejuang bangsa mencapai kemerdekaan Indonesia. Di Perancis (yang hari musik diperingati setiap tanggal 21 Juni), masyarakat memperingatinya dengan bermain musik disudut sudut kota dengan alat musik sederhana dan seadanya. Bahkan sound system yang dipakai jauh dari bagus, kata teman saya (yang pernah melawat kesana) soundnya sering “grosok grosok” dan “nging nging” karena terlalu tua dan sudah out of date, namun tak mengurangi semangat untuk memaknai hari yang diperingati.
Pertanyaannya kemudian adalah : apa manfaat yang bisa didapat dari Hari Musik Indonesia itu bagi kemajuan musik Indonesia?, bagi musisinya?.



Banyak hal yang masih jadi ganjalan dalam kehidupan dan perkembangan bermusik diIndonesia. Salah satunya adalah adalah masalah pembajakan. Seorang seniman musik dengan susah payah menulis lagu, mengarransemen, kemudian merekam. Namun ketika sudah beredar, beredar pula CD bajakan dengan harga yang lebih murah. Pembeli pasti tidak berpikir panjang, asal bisa didengar dan harga ringan, selesailah sudah.Sedangkan bagi sang seniman,keuntungan hasil kerja kerasnya, yang seharusnya jatuh kepada dirinya pindah kefihak lain tanpa sang seniman bisa berbuat apa apa. Kita tentu masih ingat lagu “Tak Gendong”nya mbah Surip yang jadi RBT (Ring Back Tone). Konon ratusan juta rupiah dari hasil RBT tersebut berhasil dihimpun, namun kabarnya beberapa tetes saja yang masuk kekantong ke mbah Surip yang punya ungkapan khas “I love you full” itu. Padahal Undang Undang no 19 tahun 2002 tentang hak cipta yang berisi dua pola eksploitasi ekonomi atas musik, yaitu hak mengumumkan karya cipta (performing right) dan hak menyebarkan karya cipta ( mechanical right) sudah jelas mengatur segala sesuatunya.
Hal lain yang menjadi ganjalan adalah perhatian pemerintah pusat yang dirasa kurang terhadap kemajuan dan perkembangan Kesenian (dalam hal ini, musik).Banyak pemusik-pemusik Indonesia (perorangan maupun kelompok : Paduan suara, grup vokal, instrumentalis instrumentalis) berangkat ke negara Asia bahkan ke Eropah berhasil mengangkat dan mengharumkan nama Indonesia, karena disana mereka berprestasi, menjuarai cabang cabang lomba yang ada. Pertanyaannya kemudian adalah : “Dari mana dana untuk memberangkatkan kelompok tersebut ?” ternyata dari kantong mereka sendiri. Bandingkan dengan Olahraga. Sebagai misal, team yunior sepakbola Indonesia Primavera, tinggal selama setahun di Italia belajar bola disana, semuanya dibiayai oleh negara.
Seorang teman menjelaskan, di Olahraga itu ada KONI (komite Olahraga Nasional Indonesia) yang menganggarkan seluruh kebutuhan olahraga Indonesia. Karena itu Olahraga bisa maju sebab ada dana yang jelas untuk membiayainya.



Tapi teman saya yang lain menjelaskan bahwa Kesenian juga punya semacam KONI yaitu BKKNI (Badan Kordinasi Kesenian Nasional Indonesia) yang tugas dan fungsinya sama dengan KONI. Barangkali cuma kiprahnya yang tidak jelas . . he . . he . . he. . .
Hari Musik Indonesia 09 Maret, seharusnya dapat dipakai sebagai momentum bagi Pemerintah untuk memberi perhatian yang lebih baik kepada perkembangan dan kemajuan musik diIndonesia. Kita sering terlambat memberikan perhatian terhadap kehidupan kesenian. Sebagai contoh, almarhum Gesang punya simpanan uang ratusan juta di Jepang hasil royalty yang diterima dari lagunya Bengawan Solo sering dinyanyikan disana, sayangnya tidak ada kesungguhan dari kita sehingga sampai akhir hayatnya mbah Gesang tak menerima hasil jerih payahnya itu. Contoh yang lain, kita kaget kemudian terbengong bengong lalu marah marah ketika lagu kita, angklung kita, batik kita, tarian kita dicaplok oleh Malaysia. Padahal kalau kita mau mengawal kekayaan budaya kita lebih serius, tentu tak akan mudah terjadi pencurian pencurian semacam itu terjadi lagi dimasa mendatang.
Karenanya saya menghimbau : pertama, pemerintah bisa memberi perhatian yang lebih serius terhadap perkembangan musik Indonesia dengan cara lebih pro aktif memberantas pembajakan, pencurian, pencaplokan karya cipta musisi kita. Sehingga Hak Kekayaan Intelektual sang seniman tidak berpindah kefihak lain. Yang kedua,BKKNI harus didorong untuk bekerja lebih optimal sesuai dengan tugas dan fungsinya. Yang ketiga, berilah penghargaan dan penghormatan kepada seniman yang berprestasi, agar lebih produktif berkarya, sekaligus memberi rangsangan kepada seniman yang lain untuk berkarya juga. Sebagai ilustrasi : Walikota Alabama (AS) meliburkan satu hari kerja untuk memberikan kesempatan warga Alabama menyambut kedatangan Ruben Studard yang memenangkan kontes American Idol. Demikian besar perhatian pemerintah Alabama terhadap prestasi warganya. Itupun bisa kita kerjakan asal kita mau, kenapa tidak ?

Semoga.
Hidup Hari Musik Indonesia,
Kita tunggu langkah Pemerintah mengawal musik kita.

Taman Bungkul

Taman Bungkul (arek Surabaya menyebutnya Taman mBungkul), lokasinya terletak ditengah tengah kota, sewilayah dengan masjid Al Falah dan rumah dinas Panglima Kodam V Brawijaya. Sederet dengan sekolah sekolah terkenal (Al Falah dan Santa Maria) dan beberapa Bank besar ada juga disekitar itu. Taman Bungkul memang berada dijalan paling bergengsi yaitu jalan Raya Darmo Surabaya. Namun 700 tahun yang lalu, ketika pusat pemerintahan masih diibukota kerajaan Majapahit, wilayah Bungkul tentulah masih hutan belukar, masih banyak binatang buas berkeliaran di kawasan hutan Bungkul tersebut, atau bahkan barangkali masih hutan yang angker.
Adalah Ki Ageng Supo atau Syech Mahmuddin yang memulai “babat alas” membangun sebuah tempat yang kemudian menjadi semacam pertapaan, dinamakan pertapaan mbah Bungkul. Ki Ageng Supo adalah bangsawan Majapahit itulah akhirnya disebut Sunan Bungkul (mbah mBungkul) dan disana pula beliau Sunan Bungkul dimakamkan. Jadi memang sejak awal (700 tahun yang lalu) wilayah Bungkul adalah wilayah religi, tempat para peziarah datang berkunjung atau belajar agama di Bungkul sana. Konon Sunan Ampel pernah berkunjung kesana, bahkan sebuah sumber mengatakan akhirnya sunan Ampel menjadi menantu Sunan Bungkul.
Waktu berganti, jamanpun berubah. Bungkul pada mulanya hutan lebat “Gung liwang liwung, adoh lor adoh kidul” akhirnya menjadi daerah yang ramai, dan masuk menjadi kawasan elite.
Seperti yang diamanatkan Undang Undang, setiap kota harus memiliki ruang terbuka dan hijau, maka diBungkul perlu ada penataan ulang, karena Bungkul dipandang layak sebagai ruang terbuka dan hijau.


Rencana awalnya, penataan ulang dimaksudkan untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Jika ada peziarah kemakam mbah Bungkul datang, para peziarah itu bisa beristirahat dan rekreasi diruang terbuka dan hijau dikawasan Bungkul tersebut. Nah . . . . pengertian “Beristirahat dan rekreasi” inilah kemudian diterjemahkan dengan menghadirikan musik musik keras dan menggelegar yang oleh beberapa tokoh dianggap mengganggu para peziarah. Gayung bersambut, kegelisahan para peziarah direspon oleh komisi D DPRD dengan hearing dan menghasilkan keputusan menghentikan semua musik di Taman Bungkul ( Radar Surabaya, sabtu 19 Maret 2011).
Menghentikan semua musik . . . . . ?. inilah masalahnya. Banyak musik yang baik, yang justru membuat seseorang makin dekat dengan Tuhannya. Tengoklah ketika Bimbo berkolaborasi dengan penyairTaufiq Ismail, yang menghasilkan lagu lagu religius, antara lain : Sajadah panjang, Rindu Rosul, Ada anak bertanya pada bapaknya. pesan syairnya lagu “ada anak bertanya . . . . “ adalah : menceritakan seorang anak yang bertanya pada bapaknya kenapa berlapar lapar puasa, dan apa pula gunanya Tadarus dan tarawih ? sang bapak menjawab, Lapar mengajar rendah hati, Tadarus memahami kitab suci sedang Tarawih mendekatkan diri pada Illahi. Lagu lagu tersebut ditulis oleh Bimbo bersama Taufiq Ismail ditahun 1970-an, namun sampai sekarang masih terus dinyanyikan. Atau lagu Bimbo yang lain, semisal Tuhan, Wudhu. Perhatikan syair lagu Wudhu : Kubaca Ta’awudz dan Basmalah lalu kuucapkan/Kubasuh tangan, kusucikan kedua tanganku/Kubasuh mulutku, kusucikan lidah dan ucapanku/Kubasuh hidungku, kusucikan penciumanku/ Kubasuh mukaku kusucikan wajah dan pengelihatanku/Kubasuh lenganku, kusucikan perbuatanku/Kubasuh rambutku, kusucikan pikiranku/Kubasuh telingaku kusucikan pendengaranku/Kubasuh kakiku, kusucikan langkahku/ Allahu ya robbi, ijinkan aku menghadapmu. Coba dengar pula lagu Qosidah semisal Jilbab Putih, Kota Santri dll, pesannya menyejukkan dan Islami yang jauh dari hingar bingar yang bersifat hura-hura.


Di Surabaya juga banyak grup Samroh/Qosidah bermutu dan berprestasi. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya punya data lengkap nama Grup grup tersebut, karena DisBudPar kota Surabaya beberapa kali menyelenggarakan lomba maupun workshop untuk jenis-jenis musik Islami ini.Selain itu banyak juga dikota Surabaya grup-gup Nasyid (jenis musik Islami masa kini), semisal Fatwa Voice, Revha Voice, Lentera Voice, White Voice dan Alkhafinita (dua terakhir adalah grup Nasyid yang personalnya terdiri dari perempuan semua). Baik lagunya, pesan syairnya, arransemen musiknya maupun tampilan busananya sangat Islami. Rasanya perlu Pemerintah kota melibatkan musisi muslim untuk menseleksi jenis jenis musik maupun grup grup yang layak tampil di Taman Bungkul, sehingga sajiannya dapat dipertanggung jawabkan dari musik maupun pesan syairnya. Jadi jangan semua musik dilarang tampil seperti yang diberitakan di surat kabar.

Chaiya Chaiya

CHAIYYA CHAIYYA, NORMAN KAMARU DAN SIKAP KAPOLRI.


Seorang remaja putri usia 17 tahunan ngrumpi : “Aku gak tahu lho, kalau Briptu itu pangkat dalam kepolisian, aku pikir itu nama lengkap Norman Kamaru, eh . . ternyata itu pangkatnya Norman”. Remaja itu lalu meneruskan : “ Yang aku tahu itu Sersan, Kopral, Kapten, Jenderal”.
Cerita diatas menunjukan betapa Norman Kamaru secara tidak sengaja telah menjadi duta Kepolisian, mempublikasikan dan memperkenalkan “Apa dan Siapa” Kepolisian, dengan . . maaf . . . beaya yang murah, tapi berhasil dengan sukses. Norman berhasil memberi citra yang bagus dan positif bagi Kepolisian. Betapa tidak?, banyak orang (termasuk remaja tadi) makin tahu dimana Gorontalo itu, bahkan tahu siapa Kapolda Gorontalo. Atau kalau tidak percaya, coba tanya siapa Komandan Satuan Brimob Polda Gorontalo ? sekarang banyak yang tahu lho.
Berikut ini ada cerita semacam itu yang pernah saya baca : Suatu ketika Kedutaan Besar Republik Indonesia di salah satu negara Eropa menerima kedatangan rombongan Kesenian Musik dan Tari dari Indonesia dalam tour ke beberapa negara di Eropa. Pergelarannya berhasil dengan sukses. Penonton puas, paginya Kantor Kedutaan banyak menerima telepon dari masyarakat : Kapan pergelaran semacam ini diadakan lagi?. Dari Jakarta ke Bali ditempuh berapa Jam?. Lalu Jakarta ke Yogya langsung ke Toraja apa bisa ditempuh dalam satu hari?. Dan banyak lagi pertanyaan pertanyaan dari warga setempat. Pak Dubes geleng geleng kepala, pekerjan setahun Dubes untuk memperkenalkan Indonesia diselesaikan oleh misi Kesenian hanya dalam waktu satu malam pergelaran seni..


Benar atau tidak cerita itu, wallahuallam. Tapi Briptu Norman Kamaru telah membuktikan bahwa peristiwa “Pak Dubes dan Misi Kesenian” bisa saja terjadi. Coba bayangkan sebulan yang lalu tidak ada orang yang tahu siapa Briptu Norman Kamaru, dan sekarang, hampir 200 juta rakyat Indonesia mengenalnya. Norman dari seorang “No Body” sekarang telah berubah menjadi “Somebody” yang dipuja dari anak SD sampai orang orang kantoran, ibu-ibu dan para orang tua. Tapi ia memang layak menerima kehormatan itu, ia bisa menyanyi sambil menari dengan gerakkan gerakkan yang “aneh” dan Khas. Main gitar bisa, bahkan nge-rap-pun bisa.
Yang juga menarik adalah sikap Kapolri Jenderal Timur Pradopo, pak Jenderal memanggil Briptu Norman ke Mabes Polri. Kabarnya, Briptu Norman tergetar dan deg-deg-an ketika menerima panggilan itu, ia berpikir akan dikenai sangsi dari pimpinannya. Ternyata Kapolri bersikap lain, ia tak memberikan hukuman apapun,bahkan memberinya kebebasan untuk diwawancarai di banyak televisi, menyanyi diberbagai kesempatan bahkan Norman diijinkan pula masuk dapur rekaman . . . . ck . . ck. . ck. . .
Sikap Pak Kapolri itu tentu saja patut diacungi jempol, karena tidak banyak pejabat setingkat Kapolri memberikan perhatian kepada kesenian, umumnya pejabat banyak mensupport Olahraga. Tengok saja di PSSI misalnya, betapa banyak energi dihabiskan untuk menjadi ketua umum PSSI. Mulai demo, konggres, lalu konggres tandingan dan cara cara yang lain. Kok enggak ada ya misalnya, berebut menjadi ketua Keroncong, ketua Ludruk, ketua Ketoprak?.
Yang juga harus berterimakasih kepada Briptu Norman adalah, Syahrukh Khan beserta produser film (India) dimana lagu Chaiyya Chaiyya dinyanyikannya. Lagu yang nyaris tidak dikenal itu, tiba-tiba meledak dipasaran, dicari banyak orang. Bahkan masuk kekomunitas-komunitas musik lain, yang tadinya enggan menyanyikannya. Sebagai contoh : dalam sebuah acara Achievement Award sebuah komunitas musik klasik, Chaiyya-Chaiyyapun ditampilkan.


Rentetan peristiwa diatas tadi tentu sesuatu yang fenomenal, karena banyak prestasi pestasi didunia seni musik yang berhasil dicapai oleh anak-anak bangsa tak diketahui oleh bangsa itu sendiri. Misalnya, banyak pianis-pianis kita berjaya ditingkat internasional tak terpublikasikan dan tak diliput oleh media cetak ataupun media elektronik. Tidak jauh berbeda, adalah nasib kelompok-kelompok Paduan Suara kita, banyak yang berprestasi di tingkat internasional, tapi untuk berangkat para anggotanya terpaksa harus merogoh kocek pribadinya. Jadi sikap Kapolri perlu didukung, didorong agar ditiru dan menjadi budaya baru dikalangan pejabat tanah air.
Untuk Briptu Norman Kamaru : “Be your self, bro !, tetaplah jadi Bhayangkara Nusantara, mengawal tanah air dan bangsa Indonesia, namun tetaplah menyanyi, bermain gitar dan berkesenian, anda sudah berhasil memberi citra positif bagi korp anda”. Jadi selebritis itu menyilaukan. Ingat betapa banyak orang yang (tiba-tiba) terkenal, lewat lomba-lomba/idol-idol atau lewat internet seperti anda, disanjung, dipuja, dikagumi namun kemudian hilang tak berkesan. Dimana mereka sekarang?.
So, tetaplah rendah hati seperti yang telah anda lakukan selama ini, dan jadilah “Duta Kepolisian” forever.