Selasa, 07 September 2010

Genjer-Genjer

GENJER GENJER.

Seorang teman menulis didinding facebooknya : sebuah radio swasta didemo sekelompok masyarakat gara gara memutar lagu Genjer Genjer ( GG ). Bagi generasi muda yang lahir sesudah tahun 1965 tentu tidak paham sedikitpun lagu GG. Akhir tahun 1965 Lagu GG seolah menghilang ditelan bumi,tak seorangpun berani mengucapkan walau hanya judulnya saja, apalagi menyanyikannya. Lho?,memang kenapa?. Sesungguhnya lagu apa sih GG itu ?.
GG adalah lagu daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Lagu tersebut terkenal sekitar tahun 1965, secara nasional GG dipopulerkan oleh penyanyi Bing Slamet dan Lilies Suryani (dua penyanyi top masa itu). Pola melodi lagu tersebut terasa sekali warna daerahnya, begitu juga lompatan lompatan nadanya (intervalnya) sangat tradisional. Banyuwangi memang mempunyai ciri tersendiri pada produk produk seni musik tradisionalnya. Perpaduan yang cantik antara budaya Jawa dengan budaya Bali, sehingga sangat khas dan berbeda dengan pola pola melodi dari daerah lain di Jawa Timur.Tangganadanya memakai tangganada minor yang khas, tidak seperti tangganada minor umumnya yaitu nada sol menjadi sol kres, tetapi dalam lagu Banyuwangi nada sol tetap sol. Dalam teori musik diatonis, tangganada semacam itu dinamai Tangganada Minor Asli (Natural minor). Sekarang mari kita perhatikan isi syairnya : GG nong ledho’an pating keleler/ emake tole teko teko mbubuti genjer/ oleh sa’tenong mungkur sedot sing tolah toleh/ GG esuk esuk didol nong pasar/dijejer jejer diuntingi pada didasar/ema’e jebeng pada tuku gowo welasar/GG saiki wis arep diolah.
Isi lagu tersebut bercerita tentang warga didesa yang mencari tumbuhan Genjer (sejenis sayuran yang tumbuh secara liar dilumpur, dipematang sawah) untuk dijual dipasar. Hanya itu isi syair lagu GG, tidak ada yang istimewa. Jadi kenapa diakhir 1965 lagu itu tiba tiba hilang dari peredaran dan harus didemo ketika ada radio swasta yang mencoba menyiarkannya di tahun 2010 ini?. Sesungguhnya GG adalah lagu “netral”, tak membawa pesan politis apapun. Menjadi “tidak netral” ketika Lekra (lembaga kebudayaan dibawah PKI) mempromosikan besar besaran lagu tersebut disetiap kegiatan partainya. Sehingga pada akhirnya masyarakat luas menganggap lagu itu milik PKI. Sekelompok mahasiswa di Yogyakarta yang bukan Komunis mencoba menetralisir lagu tersebut dengan cara mengemasnya dalam bentuk paduan suara , Lagu itu diarransir dalam bentuk paduan suara oleh bung Kalit (panggilan akrab N. Simanungkalit, arranger paduan suara terkemuka di Indonesia). Sayang usaha kelompok non Komunis untuk menetralisir lagu tersebut tak didukung oleh kelompok non Komunis yang lain. Hal ini membuat fihak PKI semakin bebas leluasa menghak-i dan mengklaim lagu tersebut sebagai miliknya. Sehingga usaha menetralisir tidak maksimal, kalau tidak boleh dikatakan gagal. Sebagai ilustrasi: film Pengkianatan G30S/PKI ilustrasi musiknya banyak memakai tema dari lagu GG.





Sementara itu, masyarakat kita mempunyai kebiasaan membuat simbol simbol pada kelompoknya/golongannya maupun partainya diberbagai macam hal. Sebagai contoh disekitar tahun 1965 setiap organisasi masa ataupun organisasi politik mempunyai istilah khusus untuk hari ulang tahunnya. Kalau memakai istilah “Ultah” (ulang tahun) itu pasti dari partai A, kalau memakai istilah “Harba” (Hari Bangkit) itu pasti dari partai B, begitu juga kalau “Harlah” (hari lahir) itu ormas C, kalau H.U.T. (Hari Ulang Tahun) pasti dari golongan yang lain lagi. Sehingga akhirnya tercitra, kalau ada baliho tertulis “Ultah” pasti dari partai A, begitu juga kalau tertulis “Harba” masyarakat umum segera tahu baliho itu pasti dari partai B. Begitu juga untuk istilah istilah yang lain.
Sesungguhnya tidak salah atau sah sah saja sebuah organisasi mencoba memberi ciri pada organisasinya, misalnya warna seragam bajunya, yel yelnya lagu Mars dan Hymnenya. Namun ketika sebuah lagu yang ditulis oleh penciptanya tidak dimaksudkan untuk keperluan politik, tapi kemudian masyarakat menjadi takut menyanyikan, hal ini tentu akan mensengsarakan komposernya. Sang komponis yang ingin memotret kehidupan rakyat kecil dengan jujur kemudian diekspresikan lewat lagu tanpa pretensi lain tapi kemudian tak mungkin dinyanyikan, bisa bisa mematikan kreatifitas komponis itu sendiri. Tapi Okaylah, peristiwa “takut menyanyi” itu terjadi ditahun 1965, ketika emosi masih diubun ubun dan politik masih manjadi panglima (ingat grup band Koes Bersaudara sekarang Koes Plus pernah dikirim ke penjara hanya karena menyanyi). Kini ditahun 2010, ketika Hukum menjadi panglima, dan kesadaran hukum sudah tinggi, ( sesungguhnya tidak ada aturan hukum yang melarang lagu tersebut), tapi ternyata masih ada demo menentang lagu itu, tentu perlu dicari jawabnya.
Saya merenung mencari jawabnya, akhirnya saya menyimpulkan, begini : Kalau stasiun radio tersebut menyiarkan GG dengan tujuan “menetralkan” lagu itu menjadi apa adanya, tentu ini hal baik dan akan sayang kalau didemo. Tapi bila radio tersebut sengaja menyiarkan dengan maksud menjaga agar lagu itu “tetap tidak netral” sambil bernostalgia “membuka luka lama” tentunya sangat disayangkan. Tapi seperti bunyi peribahasa : “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu” yang bisa menjelaskan adalah penanggung jawab siaran radio tersebut. Sementara difihak pendemo, (barangkali) dari pada susah susah mencari jawabnya “menjaga netralitas atau menjaga supaya tetap tidak netral” enaknya didemo saja. . . . Wah . . . wah . . . wah . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar