Rabu, 08 September 2010

Musik Campursari

MUSIK CAMPURSARI
Musik Hybrid Yang Sedang Ngetren.


SEKILAS INFO :
Istilah Campursari mulai dikenal diawal tahun 1970an, ketika RRI stasiun Surabaya memperkenalkan satu acara baru, yaitu lagu lagu yang diiringi musik paduan antara alat musik berskala nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan alat musik berskala nada diatonis (Barat).
Tapi sesungguhnya paduan antara musik tradisional Indonesia dengan musik Barat bukan sesuatu yang baru, jauh sebelum Campursari ada, banyak musisi kelas dunia yang sudah melakukannya, antara lain Claude Achille Debussy komposer Perancis 1862 – 1918, Bella Bartok Komponis Hunggaria 1881 – 1945. Lalu Colin Mc Phee komponis Amerika ditahun 1930an membuat komposisi diberi judul “Tabuh tabuhan” , kemudian Wheeler Backet ditahun 1960an membuat satu komposisi paduan antara musik Indonesia dan Barat yang dipentaskan di Amerika Serikat. Wheeler Backet menampilkan seperangkat gamelan diiringi orkestra, judul komposisinya adalah “The Dedication to Indonesia”. Dari Indonesia ada F.A. Warsono (1960an). Ditahun 1975 Guruh Soekarno Putra bersama grup Guruh Gipsy memperkenalkan paduan musik Bali dan musik Barat, lagu-lagunya antara lain Indonesia Mahardika, Barong Gundah dan lain lain.
Tentu saja Campursari yang kita dengar sekarang berbeda dengan Campursari 1970an, apalagi dengan Campursarinya Debussy, Bartok, atau Mc Phee. Campursari memang sedang mencari bentuknya yang baku. Sejatinya Campursari adalah musik Hybrida musik dari hasil perkawinan silang antara musik Barat dan musik tradisional Indonesia.
Ada baiknya kita memperhatikan Rumusan Ki Hajar Dewantara tentang Kebudayaan

1. Kebudayaan itu :Lahir, tumbuh, berkembang, berbuah, sakit, tua, mundur dan akhirnya mati.
2. Kebudayaan itu :Kawin dan berketurunan, kumpul tak bersatu, berassimilasi, Manunggal melahirkan bentuk baru.
3. Kebudayaan itu : Mengalami seleksi, yang kuat akan hidup, yang lemah akan mati.
4. Kebudayaan itu : Menyesuaikan dengan alam (kodrat), dan zaman (masyarakat).

Mengacu hal tersebut maka Campursari masuk kekategori nomor 2 (dua) Kawin dan berketurunan, manunggal melahirkan bentuk baru.

Sekarang, kita amati lebih jauh bezzeting (perlengkapan/peralatan) musik Campursari. Peralatan campursari terdiri antara 12 sampai dengan 15 instrumen, terbagi atas 5 sampai 6 instrumen diatonis (Keyboard I dan Keyboard II, bass gitar, cuk/ukulele, cak /banyo dan drum set) sisanya adalah alat musik berskala nada pentonis antara lain gender, kendang set,saron, peking dll. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memadu dua sistem tangganada pentatonis jawa dengan diatonis barat yang berbeda sistem Tangganadanya itu.

TANGGANADA PENTATONIS.
Mari kita urai perbedaan kedua sistem tangganada tadi. Dalam musik tradisional Karawitan Jawa (Pentatonis) yang terdiri dua tangganada/laras : Pelog dan Slendro (kira kira sama dengan Mayor dan Minor) satuan jaraknya disebut CENT jarak antara satu nada dengan nada yang lain disebut Sruti (interval). Dalam satu gembyang (sama dengan musik diatonis: satu oktaf) terdapat 1.200 cent , hal ini sama dengan satu oktaf juga berjarak 1.200 cent juga. Perbedaannya terletak pada pembagian sruti antara satu nada dengan nada yang lain. Dalam sistim tangganada Karawitan Jawa baik Pelog maupun Slendro hanya berisi lima nada Yaitu : 1 (ji) – 2 (ro) – 3 (lu) – 5 (mo) – 6 (nem) 1 (ji). perbedaannya terletak pada srutinya. Untuk Slendro mempunyai sruti yang sama besar yaitu masing masing 240 cent, sedang untuk Pelog ada perbedaan jarak : Besar dan kecil.

TANGGANADA DIATONIS.
Sementara itu ditangga nada yang berskala nada diatonis mempunyai 1.200 cent juga, namun terdapat 12 nada (papan putih dan hitam) mempunyai interval/sruti yang sama, yaitu masing masing 100 cent. Perbedaan interval/sruti antara dua sistem tangga nada (pentatonis dan diatonis) ini berakibat Ketinggian nada ( pitch) juga berbeda, sehingga ketika dua nada dari dua sistim yang berbeda ini dipadukan/disatukan akan terdengar paduan bunyi yang disonan (paduan bunyi yang memberi kesan tidak tenang dan gelisah). Hal inilah yang banyak dipersoalan dikalangan musisi Campursari.

PERBANDINGAN SKALA NADA DIATONIS DAN PENTATONIS.


1 (ji) 2 (ro) 3 (lu) 5 (mo) 6 (nem)
1 (ji) 2 (ro) 3 (lu) 4 (pat) 5 (mo) 6 (nem) 7 (pi)
Do Re Mi Fa Sol La Si


Dalam diagram diatas tampak jelas perbedaan ketinggian Nada (pitch) antara satu sistem tangganada dengan sistem tangganada yang lain. Inilah, (seperti yang sudah ditulis diatas) menjadi paduan bunyi yang disonan. Walau seorang teman saya pemusik kontemporer mengatakan : “ Dalam musik kontemporer masalah Disonan kan bukan sesuatu hal yang tabu”.
Lalu, bagaimana penyelesaiannya ?? jalan keluar yang banyak dilakukan oleh musisi campursari adalah dengan melaras ulang instrumen karawitan menjadi berskala nada Diatonis. Dengan demikian bunyi instrumen karawitan akan menyatu dengan instrumen Diatonis. Tapi persoalannya tidak berhenti sampai disitu saja, karena hakekat musik sesungguhnya ada pada sistem tangganadanya. Banyak dikalangan musisi tradisi keberatan dengan pelarasan ulang alat musik karawitan yang berskala nada pentatonis menjadi berskala nada diatonis. Karena, ciri dari alat musik karawitan adalah pada sistem tangganadanya. Memang tone colour tetap terasa karawitan tapi sudah tidak punya “jiwa dan rokh” karawitan. Ibarat gadis Eropa diberi pakaian tradisional Jawa, pakai jarit, pakai suweng, berselendang, rambut disanggul, namun ketika berjalan tak tampak “gandes luwes”nya putri Jawa, tak tampak juga (seperti yang ada disyair salah satu lagu langgam jawa : “Mlakune koyo macan luwe”). Ini tentu PR bagi musisi Campursari, bagaimana menyandingkan instrumen musik Barat dengan instrumen musik karawitan dengan tetap “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Masyarakat menunggu kreatifitas musisi Campursari, karena ada kesan yang tidak bisa dihindari : Ada sistem tangga nada yang dikalahkan dan ada sistem tangga nada yang dimenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar