Kamis, 16 Februari 2012

seni berkata kata


SENI BERKATA  KATA.
Oleh : Musafir Isfanhari*)
Kunjungan presiden Amerikat Serikat Barrack Obama tahun 2010 kemarin mempunyai kesan tersendiri di masyarakat Indonesia. Terutama pidatonya dijamuan makan malam di istana Kepresidenan maupun di Universitas Indonesia sangat memukau. Obama dengan cerdik merangkai kata dalam bahasa Indonesia (yang barangkali ya cuma itu yang masih dingat) menjadi semacam mantera yang menyihir pendengarnya. Keterpukauan itu bisa dilihat di Facebook, banyak facebooker menulis begini : “Kalau kelak sudah selesai  menjabat  presiden Amerika silakan datang “pulang kampung” menjadi presiden Indonesia. Yang lain menulis : “Kalau presiden bisa ditransfer seperti pemain sepak bola, saya merekomendasi Obama untuk menjadi presiden Indonesia” . . . wah.
Padahal menurut para analis politik, pidato Obama bukan untuk kepentingan Indonesia, tapi sepenuhnya untuk kepentingan Amerika sendiri. Namun kemampuan menjalin kata ditambah jenis suara Bariton yang mantap membuat banyak orang terpana (di Surat Kabar ditulis sekitar 1000 undangan).Tampaknya, Obama punya kemampuan berkesenian “Seni Berkata-kata” yang bagus. Obama dengan cerdas mengolah kata dalam tempo moderato  ( tempo sedang) kemudian,  kalau dalam satu alinea pidatonya ada yang harus diberi aksen/tekanan maka ia mulai merubah tempo pidatonya menjadi accelerando (sedikit demi sedikit  tempo menjadi cepat), menuju puncaknya. Lalu, ketika memulai alinea baru, Obama jedah sebentar sambil  menurunkan temponya ketempo semula (dalam istilah musik disebut  a tempo).
Presiden pertama Indonesia, Bung Karno mempunyai kemampuan Seni berkata kata yang hanya bisa  disejajari oleh Obama. Dalam setiap pidatonya bung Karno yang mempunyai  jenis suara Tenor mampu menghipnotis pendengarnya. Bung Karno selalu memulai pidatonya dengan  tempo Adagio (tempo lambat), kemudian poco a poco (sedikit demi sedikit) tempo dipercepat begitu pitch-nya juga mulai menanjak naik menuju klimaks. Rakyat  dengan  bersemangat mendengar ketika bung Karno berpidato, mereka menyimak dengan nikmat, karena pidato itu (selain isinya yang penting)  disampaikan dengan pola ritme, dinamika, tone colour  dan alunan melodi yang tepat.



Itulah “Seni Berkata-kata” seperti yang ditulis dalam judul artikel ini. Pertanyaannya adalah, apakah seni berkata kata  itu bisa dipelajari? Jawabnya Tentu saja bisa.
Dalam dunia pendidikan, kita mengenal istilah hard skill dan soft skill. Hard skill adalah kemampuan teknis dan akademis sedang soft skill adalah kemampuan diluar dua hal tersebut. Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy) dan social skill (leadership, influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy).
Melihat penjelasan uraian tentang soft skill diatas, terasa betapa sangat pentingnya hal tersebut dikembangkan disekolah. Coba perhatikan: Kepemimpinan, Percaya diri, improvisasi, kreatifitas, kemampuan berkomunikasi, kontrol emosi dll  semuanya tercakup dalam soft skill.  Sebagai ilustrasi, seseorang yang cerdas disatu ilmu (hard skill), namun lemah di kepemimpinan dan komunikasi (soft skill), tentulah menghambat sukses di karirnya.  Para ahli mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat, pemanfaatan Hard Skill hanya sekitar 20 persen, sementara Soft Skill mencapai 80 persen.
Namun sayangnya,kurikulum sekolah  kita (seperti yang kita ketahui bersama) lebih banyak menekankan pada unsur hard skill saja. Unsur soft skill hanya tampak pada pelajaran kesenian dan ekstra kurikuller yang dipelajari satu minggu sekali dan itupun kurang diseriusi. Padahal, kalau di sekolah, tantangan untuk “berSeni Berkata kata” seharusnya dijawab oleh mata pelajaran kesenian. Sayangnya kesenian adalah mata pelajaran “kelas dua” yang cukup di pandang dengan sebelah mata saja. Ia menjadi anak tiri disekolah.  
Pengalaman saya mengajar kesenian : Suatu ketika saya menegur murid anggota Paduan Suara sekolah yang saya latih, kenapa tidak pernah masuk latihan paduan suara. Jawabannya, “Saya sudah kelas enam pak, jadi gak boleh latihan paduan suara”.   . . . Lho?. Seorang teman mengeluh di Facebook, tidak ada pelajaran musik disekolah dimana dia mengajar karena musik bikin berisik. Beberapa teman saya yang melatih kesenian disekolah banyak yang mengalami peristiwa yang mirip mirip dengan yang saya alami. Tiba tiba mata pelajaran kesenian dijauhi seperti HIV/AIDS. Kesenian menjadi kambing hitam dari kebodohan seseorang.



Pengalaman saya yang lain : dalam kurun waktu 1991 s/d 2000 saya ditugasi oleh Kantor wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menseleksi sekaligus melatih team Paduan Suara remaja Jawa Timur ke Festival Paduan suara di Osaka Jepang. Tentu saja materi seleksi berupa test-test musikalitas, untuk menggali sejauh mana bakat  musik yang ada pada peserta seleksi. Yang menarik, peserta yang terpilih ternyata berpestasi disekolah, rata rata mereka masuk 10 besar murid terpandai dikelasnya. Saya tidak bisa menjelaskan (harus ahlinya yang menjelaskan) tapi ada korelasi yang terang benderang antara kemampuan praktek  berkesenian dengan hard skill. Jadi, mitos – mitos seni membuat bodoh terbukti tidak benar.
Kembali ke “Seni berkata kata” : Bung Karno dan Obama yang mempunyai seni Berkata-kata bagus, mampu mengolah kalimat demi kalimat menjadi indah, keras tetapi tidak kasar, tegas tetapi tidak kaku, lembut tetapi tidak loyo. Semua  Itu menunjukan betapa  keduanya mempunyai soft skill yang bagus. Maka,  kesenian sebagai bagian dari soft skill perlu ditingkatkan sehingga terjadi keseimbangan antara hard skill dan soft skill yang pada gilirannya nanti akan tercetak manusia manusia Indonesia baru bukan saja cerdas tapi juga arif dan bijaksana.
                                                                                      *) pemerhati musik, tinggal diSurabaya.   

1 komentar:

  1. Pengganti UTS Harmoni II Musik 2011
    Hikmah Prasetyo (112134017)


    Lantas bagaimana jika seni berkata-kata tersebut disalah gunakan oleh beberapa pihak. Contoh sederhananya ketika seorang anak merayu orang tua agar dia diberi uang.Mungkin hal ini akan menjadi pelajaran yang kurang baik bagi perkembangan anak tersebut selanjutnya.Contoh lainnya adalah ketika seorang pemimpin negara melakukan diplomasi dengan pemimpin negara lain demi kepentingan salah satu negara, menurut saya maka seni barkata-kata seperti yang bapak jelaskan memiliki pengaruh yang cukup untuk menarik simpati dari negara yang akan "dirayu".Jadi kita sebagai generasi muda harus bertanggung jawab atas apa yang kita katakan. kata-kata indah memang memberi rasa nyaman bagi yang mendengar, namun bukan berarti kita seenaknya merayu seseorang dengan kata-kata manis kita.

    BalasHapus